Sabtu, 01 Oktober 2016

Kesatuan Piagam Jakarta Dan Pancasila

Oleh : Nuim Hidayat 


Peneliti Insists dan Ketua Dewan Da’wah Islamiyah Depok

Ketika 2004, Hidayat Nur Wahid menjadi Ketua MPR, ia langsung diinterupsi seorang anggota DPR dari PDIP, bahwa jangan sekali-kali membawa-bawa Piagam Jakarta. Begitu pula ketika banyak Perda di negeri ini yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, kalangan Kristiani menyatakan : “Kita memerlukan presiden yang tegas dan berani menentang segala intrik atau manuver-manuver kelompok tertentu yang ingin merongrong Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini. Ketika kelompok ini merasa gagal memperjuangkan diperlakukannya “Piagam Jakarta”, kini mereka membangun perjuangan ini lewat jalur legislasi. Mereka memasukkan nilai-nilai agama mereka ke dalam perundang-undangan.  Kini ada banyak UU yang mengarah kepada syariah, misalnya UU Perkawinan, UU Peradilan Agama, UU Wakaf, UU Sisdiknas, UU Perbankan Syariah, UU Surat Berharga Syariah (SUKUK), UU Yayasan, UU Arbitrase, UU Pornografi dan Pornoakasi, dan lain-lain. Apapun alasannya semuanya ini bertentangan dengan prinsip dasar negara ini.” (Tabloid Reformata edisi 110/2009).

Fenomena di atas dapat menjawab artikel saudara Muhammadun yang berjudul ‘Pancasila dan Demokrasi Kita’. (Republika 1 Juni 2013). Dalam artikelnya itu Muhammadun menyatakan: “Lahirnya Pancasila merupakan indikasi bahwa bangsa Indonesia sudah mengakhiri negara agama. Bangsa Indonesia lebih memilih negara bangsa karena bangsa Indonesia bukanlah terdiri dari satu agama saja. Indonesia memiliki banyak agama sehingga ideologi yang tepat adalah Pancasila. Mengeja kisah Piagam Jakarta bukanlah mengeja kisah kegagalan politik agama. Karena gagalnya Piagam Jakarta menjadi dasar negara merupakan berkah politik yang luar biasa bagi tegaknya NKRI dan tegaknya demokratisasi di Indonesia. “ Analis UIN ini melanjutkan: “Kisah kegagalan Piagam Jakarta justru menjadi pelajaran politik yang berharga bahwa mendirikan negara agama dalam konteks Indonesia tidak sesuai dengan pluralitas dan multikulturitas Indonesia. Dari Piagam Jakarta inilah negara bangsa menjadi pilihan terbaik untuk Indonesia.”


Dalam artikel Muhammadun ini terdapat kesalahan besar, yaitu dengan pernyataannya kegagalan Piagam Jakarta. Kalau kita telusuri sejarah bangsa kita dengan teliti, Piagam Jakarta yang dirumuskan Panitia Sembilan (sebagai Tim Kecil dari BPUPKI) tidaklah mengalami kegagalan.  Piagam Jakarta adalah satu kesatuan dengan Pancasila/UUD 45.

Seperti diketahui, yang dimaksud Piagam Jakarta adalah Pembukaan UUD 45, dimana di dalamnya terkandung Pancasila. Hanya saja sila Pertama yang berubah dari Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya diubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila dua, tiga, empat dan lima adalah persis seperti sekarang.

Perumus Piagam Jakarta ini adalah Panitia Kecil yang disarikan dari anggota-anggota BPUPKI. Bila dikategorikan dari asal golongannya, mereka terdiri dari empat orang nasionalis sekuler, empat orang nasionalis Islam dan satu orang Kristen. Mereka adalah : Soekarno, Mohammad Hatta, Mohammad Yamin, Ahmad Soebardjo, Agus Salim, Wachid Hasyim, Abikusno Tjokrosuyoso, Kahar Muzakir  dan AA Maramis. Pada 22 Juni 1945, setelah ‘hampir sebulan’ mereka berdebat, rapat yang dipimpin Soekarno itu sepakat dengan Piagam Jakarta.

Piagam Jakarta yang disepakati sebelumnya akan dibaca bila proklamasi kemerdekaan Indonesia diproklamirkan ternyata tidak dibaca oleh presiden kita. Diganti, maaf, dengan coret-coretan Soekarno yang dirundingkan di kediaman Laksamana Maeda di rumahnya, pagi Subuh 17 Agustus 1945. Dan pada 18 Agustus 1945, terjadilah pergantian Sila Pertama Piagam Jakarta itu.

Dalam rapat yang dipimpin Soekarno yang berlangsung pada jam 11.30-13.45, itu diputuskan : Pertama, Kata Mukaddimah diganti dengan kata Pembukaan. Kedua, dalam Preambul (Piagam Jakarta), anak kalimat: “berdasarkan kepada Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, diubah menjadi “berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ketiga, Pasal 6 ayat 1, “Presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama Islam”, kata-kata “dan beragama Islam” dicoret. Keempat, sejalan dengan perubahan yang kedua di atas, maka Pasal 29 ayat 1 menjadi “Negara yang berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa”, sebagai pengganti “Negara berdasarkan atas Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” (baca buku Piagam Jakarta, Endang Saefudin Anshari, GIP).

Perlu dicatat, tidak ada satupun ‘tokoh Islam perumus Piagam Jakarta 22 Juni 1945’ yang hadir dalam rapat mendadak yang dipimpin Soekarno saat itu. Yang mewakili tokoh Islam saat itu adalah Ki Bagus Hadikusumo dan  Kasman Singodimedjo. Kasman menceritakan bahwa ia dilobi oleh Hatta sebelum rapat siang hari itu (dan Hatta menyatakan bahwa ia mendapat tekanan dari Panglima Jepang dan wakil-wakil Indonesia Timur). Yang hadir selain Kasman dan Ki Bagus adalah Soekarno, Hatta, Supomo, Radjiman Wedyodiningrat, Soeroso, Soetardjo, Oto Iskandar Dinata, Abdul Kadir, Soerjomihardjo, Purbojo, Yap Tjwan Bing, Latuharhary, Amir, Abbas, Mohammad Hasan, Hamdhani, Ratulangi, Andi Pangeran dan I Bagus Ketut Pudja.

Tapi yang menarik dalam lobinya ke Kasman dan Ki Bagus, Hatta menyatakan bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa, maknanya tauhid. Kasman menulis dalam bukunya: “Bung Hatta sendiri pada bulan Juni dan Agustus 1945 menjelaskan bahwa Tuhan Yang Maha Esa itu ialah Allah, tidak lain kecuali Allah. Dan waktu beliau mengusulkan supaya Ketuhanan itu dengan rumus “Ketuhanan Yang Maha Esa” dijadikan sila pertama (dan bukan seperti maunya Bung Karno sebagai sila kelima dengan rumus “Ketuhanan”), maka Bung Hatta memberi penjelasan supaya Allah dengan NurNya itu kepada sila-sila yang empat lainnya dari Pancasila itu.”

Memang istilah Pancasila mungkin dari Soekarno atau Yamin. Tapi isi dari teks Pancasila itu, empat tokoh Islam itu mempunyai andil besar. Kata adil, beradab, kerakyatan, hikmah, kebijaksanaan, permusyawaratan dan perwakilan adalah kosa-kosa kata Islam yang hampir mustahil disuarakan oleh tokoh-tokoh sekuler atau Kristen saat itu. Sayangnya hingga kini belum ditemukan (atau jangan-jangan sengaja dihilangkan) pembahasan atau notulen secara rinci perumusan Pancasila itu. Dari 30 anggota BPUPKI yang berbicara, Yamin hanya menuliskan tiga orang saja dalam bukunya.

Kalau kita lihat naskah dari Yamin, yang dipidatokan 29 Mei 1945, naskah Pancasilanya adalah 1. Perikebangsaan. 2. Perikemanusiaan. 3. Periketuhanan 4. Perikerakyatan 5. Kesejahteraan rakyat. Sedangkan pada 1 Juni 1945 Soekarno mengusulkan lima  rumusan dasar negara, yaitu: 1. Kebangsaan Indonesia. 2. Internasionalisme atau perikemanusiaan. 3. Mufakat atau demokrasi. 4. Kesejahteraan social 5. Ketuhanan yang berkebudayaan.

Jadi, meski 17-18 Agustus 1945 ‘isi penting Piagam Jakarta’ dimentahkan oleh Soekarno dkk, dan pada Sidang Majelis Konstituante 1956-1959 mengalami deadlock tentang dasar negara, tetapi pada 5 Juli 1959 Piagam Jakarta dinyatakan Presiden Soekarno dalam dekritnya secara tegas bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD 45 dan merupakan satu rangkaian kesatuan yang tidak terpisahkan. Dengan dekrit ini, secara prinsip tidak boleh lahir satu undang-undangpun di negeri ini yang bertentangan dengan Islam. Dan itu wajar saja, karena memang negeri ini lahir dari pengorbanan mayoritas jiwa dan raga ulama-umat Islam.

Karena itu Presiden Soekarno saat memperingati Hari Lahir Piagam Jakarta, 22 Juni 1965 menyatakan: “Nah Jakarta Charter ini saudara-saudara sebagai dikatakan dalam Dekrit, menjiwai UUD 1945 dan merupakan satu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut. Jakarta Charter ini saudara-saudara, ditandatangani 22 Juni 1945. Waktu itu jaman Jepang…Ditandatangani oleh –saya bacakan ya– Ir Soekarno, Drs Mohammad Hatta, Mr AA Maramis, Abikusno Tjokrosuyoso, Abdul Kahar Muzakkir, Haji Agus Salim, Mr Achmad Subardjo, Wachid Hasyim, dan Mr Mohammad Yamin, 9 orang.” *

Sabtu, 03 September 2016

Jawablah Pertanyaan, "Kemanakah Kamu akan Pergi?"

SEBUAH pertanyaan yang sering terngiang di ingatan. Sebuah pertanyaan yang terkadang sulit untuk mengundang jawaban. Salah satu pertanyaan yang dapat menentukan masa depan. Salah satu pertanyaan abadi dalam kehidupan yang akan terus menerus ditanyakan.

Maka kemanakah kamu akan pergi?

Jika dihubungkan dengan kehidupan, maka ketika saat ini masih sekolah, jawabnya mungkin lanjut kuliah. Jika saat ini menempuh perkuliahan, jawabnya mungkin lanjut mencari penghasilan. Jika saat ini sedang mencari penghasilan, jawabnya mungkin lanjut ke jenjang pernikahan. Begitu seterusnya hingga suatu saat pergi menginggalkan kehidupan.

Tapi sepertinya hal ini layak untuk dipikirkan. Bukankah jawaban kebanyakan orang memiliki kesamaan. Layaknya air di sungai, mengalir dari tempat yang tinggi. Mengikuti kemanapun sekitarnya pergi. Meskipin air terjun menanti, tetap saja pergi.

Sudah seharusnya kita menjadi diri sendiri. Diri yang mempunyai mimpi dan berikhtiar untuk mewujudkannya di masa depan. Diri yang mengikuti hati nurani dan berpegang teguh pada petunjuk Illahi. Diri yang berani menepi untuk menyebarkan benih-benih kebaikan.

Maka kemanakah kamu akan pergi?

Karena kehidupan ini adalah sebuah perjalanan. Perjalan yang hanya sementara, bagaikan selintas awan. Perjalanan yang akan menuntun ke sebuah tujuan. Walaupun terkadang perjalanan itu sendiri bisa melenakan. Membuat para penempuh perjalanan tersebut lupa akan sebuah arti kegigihan.

Maka sudah sepatutnya kita untuk saling mengingatkan. Agar tetap teguh dan tidak tenggelam dalam buaian. Agar menjadi pengembara kehidupan yang baik dan meninggalkan jejak-jejak kebaikan.

Maka kemanakah kamu akan pergi?

Pertanyaan ini yang terujar ketika menemui persimpangan. Pertanyaan ini yang terlintas ketika berhenti akibat kelelahan di perjalanan. Pertanyaan ini pula yang terbayangkan ketika sadar setelah teralihkan oleh fatamorgana berwujud khayalan. Namun, terkadang pengembara tersebut lupa akan petunjuk yang sudah jelas keberadaannya.

Kurang akan perbekalan yang dia bawa. Petunjuk dan bekal yang akan memimpin manusia ke jalan sebenar-benarnya. Itulah Alquran. Maka sudah seharusnya kita mengikuti petunjuk itu, agar sampai hingga ke tujuan. Sudah seharusnya kita membekali diri dengan ilmu dari Alquran (ilmu agama dan pengetahuan), agar setia ke jalan yang benar dan tidak mudah teralihkan dalam perjalanan.

Maka kemanakah kamu akan pergi?

Yakinkan diri bahwa yang pasti adalah menuju kebenaran. Bagaimanapun permulaan, jika ada niatan, maka akan selalu ada jalan. Karena sesulit apapun perjalanan, selalu dimulai dengan satu pijakan. Seburuk apapun keadaan, Allah selalu memberi ampunan.

Ingatlah pula bahwa kita tidak berjalan sendirian. Maka ajaklah kawan, mari kita bersama-sama mengarah ke kebaikan, serta menyebarkan kebermanfaatan. [inspirasi-islami] - See more at: http://mozaik.inilah.com/…/jawablah-pertanyaan-kemanakah-ka…

Kamis, 01 September 2016

Pesan di Balik Wahyu Pertama: Membaca Tidak Cukup Satu Kali


Oleh: DR. KH. Abun Bunyamin MA
Pimpinan Pondok Pesantren Al-Muhajirin Purwakarta


اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhan-mu Yang menciptakan,” (QS Al-alaq: 1)

Bacalah ayat Al-Qur’an yang akan diberikan nanti, bacalah alam sekitar, bacalah dirimu dan kehidupan manusia di masa kini, masa lalu dan masa yang akan datang, baca atas nama Allah yang telah menciptakanmu.

Perintah membaca dengan keyakinan bahwa Allah tetap bersama kita di manapun kita berada. Iqra tidak selamanya berarti mengucapkan huruf, kata, atau kalimat. Tapi Iqra di sini bisa berarti sebagaimana yang telah disebut dalam kamus yaitu menyampaikan, menelaah, membaca, mendalami, meneliti, mengetahui ciri-ciri sesuatu yang kesemuanya berhipun dalam satu kata asal Iqra.

Bismi rabbika berarti bahwa segala gerak atau segala aktifitas manusia harus semata-mata demi Tuhan. Rabb berasal dari kata raba yarbu yang berarti kelebihan, peningkatan, ketinggian dan perbaikan. Artinya Allah yang memiliki kelebihan yang selalu mengembangkan dengan lebih baik kehidupan makhluknya.
خَلَقَ الإنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ


“Dia telah menciptakan manusia, dengan segumpal darah.” (QS. Al-Alaq: 2)

Alaq adalah gumpalan darah yang bergantung pada dinding Rahim. Ayat ini memperkenalkan manusia bahwa asal-usul manusia selain nabi Adam dan Hawa (istrinya) adalah terbuat dari gumpalan tersebut. Implikasi penggunaan Alaq adalah penegasan bahwa manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa ketergantungan pada makhluk lainnya.

Al-Insan diartikan manusia, berasal dari kata anasa yang berarti senang, jinak dan harmonis atau dari kata nasiya yang berarti lupa, atau berasal dari kata nawasa yang berarti gerak atau dinamika.

Dengan demikian, watak manusia bisa tergambar dari makna ketiga kata asal tersebut. Dalam redaksi lain manusia disebut basyar yang maknanya merujuk pada keragaman fisik dan nalurinya.

اقْرَأْ وَرَبُّكَ الأكْرَمُ

“Bacalah, dan Tuhamulah Yang Maha Mulia” (QS. Al-Alaq: 3)

Kata Iqra disebut dua kali menunjukkan bahwa membaca tak cukup satu kali, membaca harus selalu diikuti dengan membaca lagi baik bentuk yang sama atau pun berbeda. Seperti membaca yang pertama untuk diri sendiri dan yang kedua untuk menyebarkan kepada orang lain.

Al-ikram berarti paling mulia, berasal dari kata karama yang berarti memberikan dengan mudah dan tanpa pamrih, bernilai tinggi, mulia, setia dan sifat kebangsawanan. Al-Qur’an mampu memberikan kepuasan bagi para pembacanya.

الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَم   عَلَّمَ الإنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ


“yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.”

Ayat ini menegaskan kepada pembaca bahwa Allah telah memberi pengetahuan kepada seluruh umat manusia. Tanpa pengetahuan dari Allah, manusia tidak mengetahui apapun.

“Mereka menjawab: Mahasuci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sungguh Engkaulah Yang Maha Mengetahui, Maha Bijaksana.” (QS. Al-Baqarah: 32)

Kata Allama disebutkan dua kali, pertama disebut dengan qalam (pena) dan yang kedua diikuti oleh obyek yaitu al-insan (manusia) tanpa menyebutkan kembali kata qalam. Maksudnya Allah mengajarkan manusia dengan dua cara, yaitu dengan pena dan tanpa pena. Pengajaran menggunakan pena artinya manusia harus membaca atau dengan berusaha semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan dan potensi, sedangkan pengajaran tanpa pena artinya manusia akan diberi ilmu Allah walaupun tanpa usaha yang disebut dengan ilmu laduni (yang langsung dari Allah). Inilah yang selalu kita ucapkan dalam do’a:

Robbanaa Aatinaa min ladunka rohmatan Wa Hayyi lana min amrinaa rosyadaa

Artinya: “Ya Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah petunjuk yang lurus bagi kami dalam urusan kami.” (QS. Al-Kahfi: 10)

Dalam bahasa lain, ilmu laduni disebut juga ilmu mauhibah atau sering dikenal dengan istilah ‘ilmu hikmah’. Ilmu mauhibah dalam ilmu tafsir diartikan ilmu yang dianugerahkan Allah karena ketaatan yang istiqomah berikut keistimewaan jiwa dan anggota badan yang mempribadi dalam keesaan Allah yang dinamis.

Masyarakat mengkonotasikan orang-orang yang dianugerahi ilmu hikmah sebagai ‘orang pintar’. Dalam kenyataannya ilmu yang dimiliki ‘orang pintar’ berbeda dengan ilmu-ilmu mauhibah yang dimaksud, sebab ahli hikmah atau orang pintar dalam praktiknya di masyarakat agak sedikit bercampur dengan kebiasaan perdukunan.

Ayat 1-5 ini adalah wahyu pertama yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW di Gua Hiro pada bulan Ramadhan. Ayat ini adalah pembuka tugas kenabian Muhammad Saw sebagai nabi terakhir yang menjadi rahmat bagi seluruh alam. []

Diambil dari Majalah Taqoddum Edisi 14 Tahun keempat.