Kamis, 01 September 2016

Pesan di Balik Wahyu Pertama: Membaca Tidak Cukup Satu Kali


Oleh: DR. KH. Abun Bunyamin MA
Pimpinan Pondok Pesantren Al-Muhajirin Purwakarta


اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhan-mu Yang menciptakan,” (QS Al-alaq: 1)

Bacalah ayat Al-Qur’an yang akan diberikan nanti, bacalah alam sekitar, bacalah dirimu dan kehidupan manusia di masa kini, masa lalu dan masa yang akan datang, baca atas nama Allah yang telah menciptakanmu.

Perintah membaca dengan keyakinan bahwa Allah tetap bersama kita di manapun kita berada. Iqra tidak selamanya berarti mengucapkan huruf, kata, atau kalimat. Tapi Iqra di sini bisa berarti sebagaimana yang telah disebut dalam kamus yaitu menyampaikan, menelaah, membaca, mendalami, meneliti, mengetahui ciri-ciri sesuatu yang kesemuanya berhipun dalam satu kata asal Iqra.

Bismi rabbika berarti bahwa segala gerak atau segala aktifitas manusia harus semata-mata demi Tuhan. Rabb berasal dari kata raba yarbu yang berarti kelebihan, peningkatan, ketinggian dan perbaikan. Artinya Allah yang memiliki kelebihan yang selalu mengembangkan dengan lebih baik kehidupan makhluknya.
خَلَقَ الإنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ


“Dia telah menciptakan manusia, dengan segumpal darah.” (QS. Al-Alaq: 2)

Alaq adalah gumpalan darah yang bergantung pada dinding Rahim. Ayat ini memperkenalkan manusia bahwa asal-usul manusia selain nabi Adam dan Hawa (istrinya) adalah terbuat dari gumpalan tersebut. Implikasi penggunaan Alaq adalah penegasan bahwa manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa ketergantungan pada makhluk lainnya.

Al-Insan diartikan manusia, berasal dari kata anasa yang berarti senang, jinak dan harmonis atau dari kata nasiya yang berarti lupa, atau berasal dari kata nawasa yang berarti gerak atau dinamika.

Dengan demikian, watak manusia bisa tergambar dari makna ketiga kata asal tersebut. Dalam redaksi lain manusia disebut basyar yang maknanya merujuk pada keragaman fisik dan nalurinya.

اقْرَأْ وَرَبُّكَ الأكْرَمُ

“Bacalah, dan Tuhamulah Yang Maha Mulia” (QS. Al-Alaq: 3)

Kata Iqra disebut dua kali menunjukkan bahwa membaca tak cukup satu kali, membaca harus selalu diikuti dengan membaca lagi baik bentuk yang sama atau pun berbeda. Seperti membaca yang pertama untuk diri sendiri dan yang kedua untuk menyebarkan kepada orang lain.

Al-ikram berarti paling mulia, berasal dari kata karama yang berarti memberikan dengan mudah dan tanpa pamrih, bernilai tinggi, mulia, setia dan sifat kebangsawanan. Al-Qur’an mampu memberikan kepuasan bagi para pembacanya.

الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَم   عَلَّمَ الإنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ


“yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.”

Ayat ini menegaskan kepada pembaca bahwa Allah telah memberi pengetahuan kepada seluruh umat manusia. Tanpa pengetahuan dari Allah, manusia tidak mengetahui apapun.

“Mereka menjawab: Mahasuci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sungguh Engkaulah Yang Maha Mengetahui, Maha Bijaksana.” (QS. Al-Baqarah: 32)

Kata Allama disebutkan dua kali, pertama disebut dengan qalam (pena) dan yang kedua diikuti oleh obyek yaitu al-insan (manusia) tanpa menyebutkan kembali kata qalam. Maksudnya Allah mengajarkan manusia dengan dua cara, yaitu dengan pena dan tanpa pena. Pengajaran menggunakan pena artinya manusia harus membaca atau dengan berusaha semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan dan potensi, sedangkan pengajaran tanpa pena artinya manusia akan diberi ilmu Allah walaupun tanpa usaha yang disebut dengan ilmu laduni (yang langsung dari Allah). Inilah yang selalu kita ucapkan dalam do’a:

Robbanaa Aatinaa min ladunka rohmatan Wa Hayyi lana min amrinaa rosyadaa

Artinya: “Ya Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah petunjuk yang lurus bagi kami dalam urusan kami.” (QS. Al-Kahfi: 10)

Dalam bahasa lain, ilmu laduni disebut juga ilmu mauhibah atau sering dikenal dengan istilah ‘ilmu hikmah’. Ilmu mauhibah dalam ilmu tafsir diartikan ilmu yang dianugerahkan Allah karena ketaatan yang istiqomah berikut keistimewaan jiwa dan anggota badan yang mempribadi dalam keesaan Allah yang dinamis.

Masyarakat mengkonotasikan orang-orang yang dianugerahi ilmu hikmah sebagai ‘orang pintar’. Dalam kenyataannya ilmu yang dimiliki ‘orang pintar’ berbeda dengan ilmu-ilmu mauhibah yang dimaksud, sebab ahli hikmah atau orang pintar dalam praktiknya di masyarakat agak sedikit bercampur dengan kebiasaan perdukunan.

Ayat 1-5 ini adalah wahyu pertama yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW di Gua Hiro pada bulan Ramadhan. Ayat ini adalah pembuka tugas kenabian Muhammad Saw sebagai nabi terakhir yang menjadi rahmat bagi seluruh alam. []

Diambil dari Majalah Taqoddum Edisi 14 Tahun keempat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar