Rabu, 20 Februari 2013

KEMATIAN

KEMATIAN

Semua makhluk yang bernyawa pasti akan menghadapi kematian. Jika tak ingin mati, maka jangan bernyawa! Orang baik mati, orang jahat mati, orang kaya mati, orang miskin mati, orang pintar mati, orang bodoh juga mati.

MENCELA

Mencela adalah pekerjaan yang paling gampang, dan memang biasanya dilakukan oleh mereka yang belum rajin dan masih membutuhkan banyak bantuan.

Maka bersabarlah jika ada orang yang mencela Anda, karena dia hanya sedang mengumumkan kebutuhannya untuk dibantu.

Tidak mungkin orang yang kehidupannya besar dan damai memiliki hati yang mampu mencela orang lain.

 
Itu sebabnya, berterima-kasih, memuji, dan mensyukuri kebaikan sesama adalah kemampuan hati yang baik.

Mario Teguh - Loving you all as always

Sabtu, 16 Februari 2013

Tadabbur Surat al-A’la


KEBERUNTUNGAN

DARI GENERASI KE GENERASI

Mukaddimah: Yang Maha Tinggi

Surat Al-A’lâ menurut jumhur mufassirin (ulama tafsir) diturunkan di Makkah setelah Surat At-Takwir (إذا الشمس كوّرت)([1]). Sebagian ulama ada yang berpendapat surat ini diturunkan di Madinah karena memuat berita tentang Shalat Id dan zakat ftrah. Tapi pendapat ini dilemahkan oleh Imam Jalaluddin as-Suyuthi, Ibnu Sa’d dan Ibnu Abi Syaibah.
Surat ini sebagaimana surat makkiyah lainnya, masih menekankan aspek akidah dan kei-manan, hanya saja isinya sangat umum. Berisi tentang tanda-tanda kekuasaan dan keesaan Allah swt serta membicarakan wahyu dan kitab serta suhuf yang diturunkan kepada para nabi. Juga disinggung mengenai nasib yang baik bagi orang yang suka menyucikan dirinya dengan amal kebaikan([2]). Karena tema pesar surat ini adalah tasbih (penyucian). Bahkan diawali dengan sebuah perintah “sabbih” (sucikanlah) Maha Suci Allah dari segala tuduhan yang tidak benar.
Surat al-A’la memiliki beberapa keistimewaan, di antaranya; disukai oleh Rasulullah saw:
  1. Seperti riwayat Imam Ahmad, al-Bazzar dan Ibnu Marduyah dari riwayat Imam Ali bin Abi Thalib ra. bahwa beliau menyukai surat sabbihisma. Dalam riwayat Abu Ubaid bahkan disebut sebagai afdhalu al-Musabbihat (surat yang diawali dengan tasbih yang paling afdhal).
  2. Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah, al-Hakim dan al-Baihaqi meriwayatkan dari Aisyah binti Abi Bakar ra. bahwa dalam shalat witir pada rakaat pertama Rasulullah saw sering membaca surat al-A’la, kemudian pada rakaat kedua membaca al-Kafirun dan pada rakaat ketiga membaca al-Ikhlas.
  3. Imam Muslim, Ibnu Abi Syaibah, Imam Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Nu’man bin Basyir ra. bahwa dalam Shalat dua Id dan Shalat Jum’ah pada rakaat pertama Rasulullah saw sering membaca surat al-A’la dan pada rakaat kedua membaca al-Ghasyiah.
  4. Imam ath-Thabrani meriwayatkan dari Abdullah bin Harits beliau berkata: Shalat berjamaah terakhir Rasulullah saw adalah Shalat Maghrib dan pada rakaat pertama beliau membaca al-A’la sedang pada rakaat kedua beliau membaca al-Kafirun([3]).
Adapun hadits-hadits yang menyebutkan tentang fadhilah surat al-A’la dengan redaksi seperti ini: Barang siapa membaca surat ini maka akan mendapat ini atau pahalanya akan dilipatkan menjadi sekian karena hurufnya diistimewakan atau yang sejenisnya, kebanyakan riwayat tersebut lemah bahkan bisa digolongkan sebagai hadits maudhu’ (hadits palsu).
Bertasbihlah
Surat ini termasuk salah satu surat yang diawali dengan tasbih. Surat-surat tersebut ada yang dibuka dengan tasbih dalam bentuk past tense (fi’il madhi) “سَبَّحَ” ada yang berbentuk present tense (fi’il mudhari’) “يُسَبِّحُ” dan ada yang berbentuk kata perintah (fi’il amr)“سَبِّحْ” seperti surat yang sedang kita tadabburi kali ini.
Sucikanlah nama Tuhanmu yang Maha Tinggi” (QS. 87: 1)
Dan siapa yang lebih berhak untuk ditinggikan dan disucikan melainkan hanya Dzat yang serba maha ini. Tuhan yang maha tinggi, kemuliaan-Nya tiada yang melangkahinya, keperkasaan-Nya tiada yang sanggup menandinginya.
Dalam setiap ruku’ dan sujud kita selalu membaca tasbih, mengakui kesucian dan ketinggian-Nya, maka di luar shalat seharusnya kita lebih menyucikan dan meninggikan Allah. Dan ketinggian di sini bukanlah sebuah ketinggian materi dan tempat atau kedudukan. Namun ketinggian dengan segala maknanya. Berkuasa, serba mampu bertindak dan melakukan apa saja.
Yang menciptakan, dan menyempurnakan (penciptaan-Nya)” (QS. 87: 2)
Allah lah Sang Pencipta dengan sebenar makna penciptaan yang selalu menyempurnakan ciptaan-Nya. Apalagi ciptaan Allah yang bernama manusia, Allah bekali dengan segala kesempurnaan([4]).
Dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk” (QS. 87: 3)
Asy-Syibli dan Abu Bakar al-Wasithy mengatakan “Allah menentukan kebahagiaan dan kesengsaraan, Dia tunjuki jalan kebahagiaan dengan mudah untuk orang-orang yang berbahagia. Dan Dia mudahkan jalan kesengsaraan bagi orang-orang yang celaka ([5]). Al-Baghawi memberikan penafsiran lain, “Allah tentukan kemanfaatan dan memberikan jalan serta petunjuk bagi manusia untuk mengeluarkan dan memanfaatkannya ([6]).
Dan yang menumbuhkan rumput-rumputan. Lalu dijadikan-Nya rumput-rumput itu kering kehitam-hitaman” (QS. 87: 4-5)
Dialah yang menumbuhkan dan menghidupkan rumput basah dan menjadikannya rizki serta makanan untuk binatang ternak. Dia juga yang sanggup mematikannya, mengubahnya dari segar dan basah menjadi kering kehitaman([7]).
Ghutsa`” artinya kering sehingga mudah terbawa air atau tiupan angin dan “Ahwa” berarti hitam, dan tidak seperti aslinya yaitu berwarna hijau([8]). Ibnu Manzhur mengatakan aslinya adalah hitam, dipakai untuk tumbuhan yang kering. Beliau menukil dari al-Jauhari bahwa ahwa dipakai untuk warna hitam campuran karena warna aslinya tidak demikian([9]). Az-Zamakhsyari menambahkannya ia menjadi kering dan kemudian hancur([10]).
Tanaman yang tadinya hijau. Indah dipandang mata. Ranting dan daunnya terlihat gagah dan kencang, kemudian bisa berubah menjadi kering dan berwarna hitam. Hitam yang mengerikan. Tanda kematian.
Seharusnya manusia berpikir. Sebagaimana tumbuhan berotasi, ia pun akan mengalaminya. Dari tak berdaya saat menjadi bayi kemudian menjadi gagah ketika berusia remaja dan dewasa. Ia juga akan seperti tanaman, kering dan kemudian mati. Siapakah yang membuat rotasi usia ini.
Allah Menjaga Wahyu dan Kitab-Nya
Kami akan membacakan (Al Quran) kepadamu (Muhammad) Maka kamu tidak akan lupa. Kecuali kalau Allah menghendaki. Sesungguhnya dia mengetahui yang terang dan yang tersembunyi” (QS. 87: 6-7)
Allah menjaga wahyu dan kitab-Nya dengan menurunkan malaikat Jibril yang terus memantau hafalan Nabi Muhammad saw dan mengeceknya terus. Sebagian ulama mengartikannya bahwa Nabi Muhammad saw dikaruniai hafalan yang sangat kuat sehingga tidak akan lupa. Kecuali hal-hal yang dikehendaki oleh Dzat Yang Maha Tahu. Dan hal tersebut tidak terjadi.
Yang menarik dalam ayat ini adalah perpindahan kata ganti dari kata ganti pertama“سنقرئك” yang berarti “akan Kami bacakan” menjadi kata ganti ketiga “إلا ما شاء الله” yang berarti “kecuali yang Allah kehendaki”. Al-Alusy mengomentari hal ini, “gaya bahasa (uslub) iltifât (berganti) ini untuk menandai pendidikan ketuhanan dan untuk menampakkan kemahabesaran Allah. Karena lafzhul jalalah (Allah) terasa melekat dengan berbagai nama dan sifat ketuhanan ([11]).
Dan kami akan memberi kamu taufik ke jalan yang mudah” (QS. 87: 8)
Allah lah yang memudahkan jalan bagi Nabi Muhammad saw untuk menghafal-kan kalam dan wahyu-Nya. Dengan menurunkan malaikat Jibril seperti yang disinggung sebelumnya. Juga dengan memudahkan dalam menghafalnya. Ibnu Katsir dan al-Qurthuby menafsirkannya lebih umum yaitu memudahkan jalan kebaikan([12]).
Maka lakukanlah dan amalkanlah yang kau terima dengan terus berdakwah. “Oleh sebab itu berikanlah peringatan karena peringatan itu bermanfaat” (QS. 87: 9)
Lakukanlah terus mengingatkan kaummu wahai Muhammad, meskipun bagi sebagian orang peringatan itu tidak membuatnya mengubah sikap dan pendirian. Sebagaimana yang ditegaskan Imam al-Wahidy. Beliau menambahkan bahwa Nabi Muhammad bertugas mengingatkan saja. Kemanfaatan peringatan itu dikembalikan kepada Allah juga sikap orang-orang yang mendengarnya, apakah percaya atau mendustakannya([13]).
Dua Sikap yang Selalu Ada
Orang yang takut (kepada Allah) akan mendapat pelajaran. Dan orang-orang yang celaka (kafir) akan menjauhinya, (yaitu) orang yang akan memasuki api yang besar (neraka). Kemudian dia tidak akan mati di dalamnya dan tidak (pula) hidup” (QS. 87: 10-13)
Peringatan dan risalah yang dibawa Nabi Muhammad akan mudah diterima oleh orang yang takut Allah. Karena orang yangtakut kepada Allah maka ia akan berhati-hati dalam bertingkah laku.
Sementara orang yang selalu menjauhinya sesungguhnya orang tersebut mencelaka-kan diri. Karena sikapnya itu akan menjerumuskannya ke dalam neraka. Dan hidup di neraka tidak bisa didefinisikan. Mereka tidak bisa disebut hidup juga tak bisa disebut sebagai mayyit.
Orang-orang yang takut di atas adalah orang yang beruntung. “Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman)” (QS. 87: 14) Karena dari waktu ke waktu mereka selalu berusaha menyucikan diri. Bertasbih dengan lisan dan anggota tubuhnya. Kata-kata yang dikeluarkannya juga bersih karena keluar dari hati yang bersih. Apalagi ia mengimani dan percaya kepada peringatan yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Kemudian setelah itu ia mampu menjaga hidupnya secara konsisten dalam keistiqamahan sikap. Dan kali ini Allah menyebut dua amal yang dilakukan oleh orang beruntung yang selalu menyucikan jiwanya. Yaitu dengan zikir dan dan shalat. “Dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia shalat” (QS. 87: 15)
Hal ini bertolak belakang dengan sikap orang-orang yang selalu menjauhi peringatan Nabi saw. “Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal” (QS. 87: 16-17)
Hanya orang-orang yang bodoh saja yang memilih keindahan yang semu. Karena kehidupan dunia ini adalah permainan yang ada batasnya. Hal senada juga dipesankan oleh guru besar tarekat asy-Syadziliyah, Ibnu ‘Athaillah as-Sakandary:
أرح نفسك من التدبير، فما قام به غيرك عنك لا تقم به لنفسك
Istirahatkanlah dirimu dari mengatur urusan duniawi dengan susah payah. Karena, hal yang sudah diurus oleh orang selain engkau (yaitu Allah), maka tak perlu lagi kau turut mengurusnya ([14]).
Jika Allah telah menyiapkan segalanya untuk kita di dunia ini maka kita tinggal menjemput nasib kita dengan berusaha dan kemudian memasrahkannya kepada Allah apapun hasilnya. Sikap ini akan terlihat dari pola hidup yang kita jalani. Orang yang matang dalam menerima takdir ini akan senantiasa bersyukur terhadap karunia Allah. Ia akan selalu memper-barui rasa syukurnya. Penerimaan takdir ini juga tidak membuatnya apatis dan gampang menyerah karena dia tahu bahwa Allah menurunkan segala sesuatu dengan sebab. Allah yang mencipta sebab dan memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk melakukan sesuatu untuk menjemput sebab-sebab diturunkannya karunia dan pertolongan Allah. Pukulan tongkat Nabi Musa yang tak seberapa dijadikan Allah sebagai sebab turunnya pertolongan-Nya. Air laut berubah menjadi jalan yang dibentangkan untuk Musa dan kaumnya yang ketakutan dari kejaran Fir’aun yang sangat zhalim. Demikian juga goyangan lemah tangan Maryam terhadap pohon kurma di saat tubuhnya keletihan dan jiwa didera sakit karena difitnah dijadikan sebab turunnya pertolongan Allah berupa buah kurma yang lezat dan siap dimakan.
Orang-orang inilah yang digambarkan oleh Rasulullah sebagai orang cerdas “al-kayyisu” yaitu orang yang memikirkan dan merancang sesuatu untuk berbekal di kehidupan setelah ia mati. Bahkan ia menyiapkan untuk anak keturunannya sebagaimana persiapan Nabi Ya’kub untuk mengondisikan anak-anaknya agar senantiasa menyembah dna mengenal Tuhannya.
Orang-orang yang demikian adalah orang yang benar-benar laik mendapatkan keberuntungan dan kebahagiaan abadi.
Kebenaran yang Selalu Dibawa Oleh Utusan-Nya
Sudah menjadi sunnah Allah bahwa peringatan-peringatan seperti disebut di atas selalu dibekalkan kepada setiap utusan-Nya dari masa ke masa.
Sesungguhnya ini benar-benar terdapat dalam kitab-kitab yang dahulu, (yaitu) kitab-kitab Ibrahim dan Musa” (QS. 87: 18-19)
Karena al-Qur’an bukanlah kitab yang pertama diturunkan Allah pada Rasul-Nya. Sebelumnya Allah pernah menurunkan kitab-kitab juga shahifah (pluralnya: shuhuf) kepada Nabi dan Rasul-Nya. Seperti hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Hibban dan al-Hakim. Abu Dzar pernah bertanya kepada Rasulullah saw tentang jumlah kitab Allah. Beliau menjawab: “ada 104. 10 diturunkan kepada Nabi Adam as. 50 kepada Nabi Syits, 30 kepada Idris. Ibrahim mendapatkan 10. Musa juga mendapatkan 10 sebelum diturunkan Taurat kepadanya. Dan Allah turunkan Taurat, Zabur, Injil dan al-Qur’an ([15]).
Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa Shuhuf Musa adalah merupakan nama lain dari Kitab Taurat([16]).
Dan dalam surat ini sebagaimana dalam surat an-Najm disebut dua Nabi ini saja. Hal ini karena mereka berdua (Nabi Ibrahim dan Nabi Musa) yang paling dikenal oleh bangsa Arab waktu diturunkannya al-Qur’an. Nabi Ibrahim as. dikenal dengan syari’ah dan ajarannya yang kemudian disebut dengan hanif. Sedangkan Nabi Musa adalah nabi yang paling dikenal di kalangan ahli kitab yang saat itu juga berinteraksi langsung dengan umat Islam.
Adapun didahulukannya Nabi Musa dalam penyebutan karena beliau membawa syariah dan ajaran yang banyak. Sementara Nabi Ibrahim hanya diberikan shuhuf yang banyaknya hanya 10 lembar saja([17]).
Al-Imam al-Akbar Syeikh al-Maraghi merinci bahwa isi Shuhuf Ibrahim dan Musa ini dijelaskan Allah. Ada 14 hal yang kemudian disebut Allah dalam surat an-Najm ayat 38-54([18]). Ini adalah penjelasan kedua shuhuf yang disebut dalam surat an-Najm ayat 36 dan 37 dan diulang kembali di akhir surat al-A’la. Dan keempat belas hal tersebut intisarinya ada pada ayat 14 dalam surat al-A’la. Bahwa orang-orang beriman yang menyucikan dirinya akan meraih kemenangan Allah dan orang yang memusuhi mereka akan berkesudahan dengan nasib yang sangat buruk.
Secara umum sebagian besar ulama tidak membedakan antara Kitab dan Shahifah. Demikian menurut sebagian besar pakar bahasa, sebagaimana disebutkan dan dinukil oleh Ibnu Manzhur. Shahifah secara bahasa adalah yang didalamnya dituliskan sesuatu. Sedangkan shahifah yang dimaksud di dalam al-Qur’an adalah kitab Allah yang diturunkan kepada para nabi-Nya([19]).
Hanya saja kitab yang dikenal diturunkan Allah kepada para nabinya ada empat yaitu: Taurat, Zabur, Injil dan al-Qur’an. Mungkin ada benarnya pendapat yang menyebutkan bahwa bisa jadi shahifah yang diberikan kepada nabi jumlahnya lebih sedikit dari yang diturunkan dengan sebutan al-kitab.
            Terlepas dari perbedaan pendapat tentang terminologi kitab dan shahifah. Kandungan kedua shahifah yang dimuat dalam surat an-Najm dan surat al-A’la menegaskan bahwa:
  1. Manusia diperintahkan berusaha dan berbuat, kelak ia akan dibalas dan diberi ganjaran sesuai amalnya. Tidak seorang pun dari mereka yang menanggung dosa orang lain.
  2. Keberuntungan, kebahagiaan semua Allah yang memilikinya. Allah juga yang memberi jalannya. Namun, tidak sedikit dari manusia yang memilih jalan kesengsaraan.
  3. Allah adalah akhir dari segalanya. Semua akan kembali kepada Dzat yang kekal ini. Semuanya akan hancur dan binasa.
  4. Kehancuran di dunia Allah timpakan kepada para pendusta dan pembangkang yang selalu melawan para utusan-Nya.
  5. Kebahagiaan dan keberuntungan ditulis Allah sebagai bagian dan nasib untuk orang-orang beriman yang senantiasa menyucikan jiwanya.
Semoga kita termasuk dalam catatan keberuntungan dan kebahagiaan yang dikabarkan Allah dalam al-Qur’an, juga shahifah Musa dan Ibrahim serta yang diturunkan kepada para nabi-Nya. Amin.
Jakarta, Selasa, 12 Januari 2010

* Tadabbur surat Al-A’lâ (Yang Paling Tinggi): [87], Juz Amma (30)
** Mahasiswa Program S3 Jurusan Tafsir dan Ilmu al-Qur’an Universitas al-Azhar, Cairo
([1]) lihat: Jalaluddin as-Suyuthi, al-Itqân fi ‘Ulûmi al-Qur’ân, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiah, Cet.I, 2004 M/1425 H, hlm. 26; Badruddin az-Zarkasyi, al-Burhân fi ‘Ulûmi al-Qur’ân, Beirut: Darul Fikr, Cet.I, 1988 M/1408 H, Vol.1, hlm. 249. Prof. Dr. Jum’ah Ali Abd. Qadir, Ma’âlim Suar al-Qur’ân, Cairo: Universitas al-Azhar, cet.I, 2004 M/1424 H, vol.2, hlm.786 
([2]) Muhammad Ali Ash-Shabuni, Ijazu al-Bayan fi Suar al-Qur’an, Cairo: Dar Ali Shabuni, 1986 M-1406 H, hlm. 293-294
([3]) Syihabuddin al-Alusy, Ruhul Maani, Beirut: Dar al-Fikr,  1997 M-1417 H, Vol. 30, hlm.183
([4])Az-Zajjaz, Ma’ami al-Qur’an wa I’rabuhu, Cairo: Darul Hadits, 2004 M/1424 H, Vol.V, hlm. 241
([5]) seperti disitir oleh Abu Abdirrahman as-Sulami (Haqa’iq at-Tafsir, tahqiq: Sayyed Imran, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiah, Cet.I, 2001 M-1421 H, Vol.II, hlm. 389)
([6]) al-Baghawy, Ma’alim at-Tanzil, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiah, Cet.I, 2004 M-1424 H, Vol.IV, hlm. 444
([7]) Az-Zajjaj, Ma’ani al-Qur’an wa I’rabuhu, Op.Cit, 5/241
([8])Abu Zakaria Al-Farrâ’, Ma’ani al-Qur’an, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiah, Cet.1, 2003 M/1423 H, Vol.III, hlm. 143
([9]) Ibnu Manzhur, Lisan al-Arab, Cairo: Dar al-Ma’arif, tt. Vol. II, hlm. 1061
([10]) Jarullah abu al-Qasim Mahmud bin Umar Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyaf, Tahqiq: Syeikh Adil Abdul Maujud dan Ali Muawwadh, Riyadh: Maktabah Ubaikan, Cet.I, 1998 M-1418 H,Vol.VI, hlm. 357
([11]) disarikan dari Ruh al-Ma’any, Op.Cit, 30/191
([12]) al-Qurthuby, al-Jami’ li Ahkami al-Qur’an, Cairo: Darul Hadits, 2002 M-1423 H, Vol.X, hlm. 276. lihat juga: Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, Al-Mansoura: Maktabah al-Iman, 1996 M-1417 H, vol.VIII, hlm. 216
([13]) disarikan dari perkataan Imam al-Wahidy dalam tafsirnya (Al-Wahidy,al-Washit fi Tafsiri al-Qur’an al-Majid, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, Cet.I, 1994 M-1415 H, Vol.IV, hlm. 470)
([14]) Ibnu Atha’illah as-Sakandary, Kitab al-Hikam, Jakarta: Khatulistiwa Press, Cet.II, Juni 2008, hlm. 8
([15]) hadits ini dengan redaksi yang mirip disitir oleh Imam az-Zamakhsyari dan al-Alusy dalam tafsirnya. Sebagian ada yang membenarkan sanad haditsnya tapi kebanyakan ulama hadits melemahkan hadits ini. (al-Kasyaf, Op.Cit, 6/360. Ruhul Ma’any, Op.Cit, 30/198.) Imam Suyuthi dan Ibnu al-Jauzi (Abdurrahman Ibnu al-Jauzi, Zadul Masir, Beirut: al-Maktab al-Islamy, Cet.III, 1984 M-1404 M. Vol.VIII, hlm. 79)
([16]) Seperti Abu Hayyan dalam tafsirnya ketika menafsiri surat an-Najm ayat 36. (Lihat: Abu Hayyan, al-Bahr al-Muhith, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiah, Cet.I, 1993 M-1413 H, Vol.VIII, hlm. 164), Juga Ibnu Asyur dalam Tafsir at-Tahrir wa at-Tanwir, Tunis: Ad-dar at-Tunisiah li an-Nasyr, 1984, Vol.27, hlm. 129-130.
([17])Tafsir at-Tahrir wa at-Tanwir, Ibid. hlm.130.
([18]) Syeikh Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Cairo: Mustafa al-baby al-Halaby, Cet.I, 1946 M-1365 H, Vol. 27, hlm. 63
([19]) Ibnu Manzhur, Lisan al-Arab, Op.Cit, Vol. 27, hlm. 2404

Di sarikan dari  Dr. H. Saiful Bahri, MA

 

KEUTAMAAN MENUNTUT ILMU

“Belajarlah karena seseorang tidak dilahirkan dalam keadaan pandai, dan pemilik ilmu itu tidak sama dengan orang yang bodoh.”
Dalam pandangan islam, ilmu adalah sesuatu yang tergolong suci. Ilmu bagaikan pelita atau cahaya di malam yang gelap. Seseorang tak kan dapat berjalan dengan baik di malam yang gelap tanpa cahaya atau pelita, demikian pula halnya tak dapat seseorang membedakan yang benar dan salah, kecuali dengan ilmu.

Ada banyak sekali keutamaan menuntut ilmu yang dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul.
Allah SWT akan mengangkat derajat orang-orang beriman dan berilmu sebagaimana firman-Nya dalam QS Al-Mujaadilah ayat 11:
‘…..niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat…...” (QS Al-Mujaadilah: 11)
Dari ayat tersebut, tersurat janji Allah untuk mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan berilmu, tak hanya di dunia tapi juga di akhirat. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah tentang kebahagiaan dunia akhirat yang dapat diperoleh dengan memiliki ilmu pengetahuan:
مَنْ أَرَادَ الدُّنْيَا فَعَلَيْهِ بِا لْعِلْمِ وَ مَنْ أَرَادَ الأخِرَةَ فَعَلَيْهِ بِا لْعِلْمِ وَ مَنْ أَرَادَ هُمَا فَعَلَيْهِ بِا لْعِلْمِ
“Siapa yang menginginkan (kebahagiaan) dunia, maka harus dengan ilmu, siapa yang menginginkan (kebahagiaan) akhirat, maka harus dengan ilmu, dan siapa yang menginginkan (kebahagiaan) keduanya (dunia dan akhirat), maka harus dengan ilmu”

Pekerjaan menuntut ilmu merupakan ibadah. Orang yang menuntut ilmu akan diberilkan pahala yang sangat besar dan dimudahkan baginya jalan menunju surga. Rasulullah Saw bersabda:
“Siapa yang menempuh suatu jalan untuk menuntut ilmu niscaya Allah akan memudahkan baginya jalan ke surga” (HR Muslim)

Selanjutnya, yang tak kalah pentingnya untuk direnungkan adalah bahwa pada suatu saat nanti, yang kita tak ketahui kapan datangnya, entah hari ini, esok, lusa atau kapan saja Allah berkehendak, malaikat maut akan datang menjemput kita untuk menjalani kehidupan lain di alam berbeda. Ketika masa itu tiba, tak ada lagi yang dapat kita lakukan untuk menambah isi pundi-pundi pahala kita, terputuslah kita dari kehidupan dunia, kecuali 3 hal yaitu shadaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat, serta anak sholeh yang selalu mendoakan, sebagaimana sabda Rasul;
“Jika anak Adam meninggal dunia, maka terputuslah amalnya keculai 3 hal, yaitu shadaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat, anak shaleh yang selalu mendoakan orang tuanya.” (HR Muslim)

Hadits ini menunjukkan pentingnya ilmu pengetahuan sebagai investasi masa depan. Dengan sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, serta anak soleh yang selalu mendoakan, kita tetap mendapat tambahan pahala meski kita tak lagi menjalani kehidupan di alam fana ini.
Hadits ini juga menyiratkan perintah untuk ‘memanfaatkan’ ilmu yang kita miliki. Tak hanya sekedar mengetahui suatu ilmu, tetapi perlu pengamalan dalam kehidupan.

Demikianlah yang dapat di sampaikan. Semoga dapat bermanfaat bagi kita semua.
Nuun, walqalami wamaa yasthuruun
Fastabiqul khairot
وََالسَّلامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّه وَبَرَكاَتُهُ
Saatnya Ujian Sekolah dimulai untuk peserta didik kelas IX SMP Muhammadiyah 2 Medan
Untuk Mapel TiK SMP Muhammadiyah 2 Medan
Kamu dapat download soal-soal ujian berikut lembar jawabannya untuk kamu kerjakan.
Galilah ilmu, karena ini saatnya kamu memperdalam ilmu,

Link download ada di bawah.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَطْلُبُ فِيْهِ عِلْمًا سَلَكَ اللهُ بِهِ طَرِيْقًا إِلَى الْـجَنَّةِ وَإِنَّ الْـمَلاَئِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ وَإِنَّهُ لَيَسْتَغْفِرُ لِلْعَالِـمِ مَنْ فِى السَّمَاءِ وَاْلأَرْضِ حَتَّى الْـحِيْتَانُ فِى الْـمَاءِ وَفَضْلُ الْعَالِـمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ. إِنَّ الْعُلَمَاءَ هُمْ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ لَـمْ يَرِثُوا دِيْنَارًا وَلاَ دِرْهَمًا وَإِنَّمَا وَرَثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ.

“Barangsiapa yang berjalan menuntut ilmu, maka Allah mudahkan jalannya menuju Surga. Sesungguhnya Malaikat akan meletakkan sayapnya untuk orang yang menuntut ilmu karena ridha dengan apa yang mereka lakukan. Dan sesungguhnya seorang yang mengajarkan kebaikan akan dimohonkan ampun oleh makhluk yang ada di langit maupun di bumi hingga ikan yang berada di air. Sesungguhnya keutamaan orang ‘alim atas ahli ibadah seperti keutamaan bulan atas seluruh bintang. Sesungguhnya para ulama itu pewaris para Nabi. Dan sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar tidak juga dirham, yang mereka wariskan hanyalah ilmu. Dan barangsiapa yang mengambil ilmu itu, maka sungguh, ia telah mendapatkan bagian yang paling banyak.” (al-Hadis)
        
Di dalam hadits ini terdapat janji Allah ‘Azza wa Jalla bahwa bagi orang-orang yang berjalan dalam rangka menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan jalan baginya menuju Surga.
“Berjalan menuntut ilmu” mempunyai dua makna:
  • Pertama : Menempuh jalan dengan artian yang sebenarnya, yaitu berjalan kaki menuju majelis-majelis (tempat-tempat) ilmu.
  • Kedua : Menempuh jalan (cara) yang mengantarkan seseorang untuk mendapatkan ilmu seperti menghafal, belajar (sungguh-sungguh), membaca, menela’ah kitab-kitab, menulis, dan berusaha untuk memahami (apa-apa yang dipelajari). Dan cara-cara lain yang dapat mengantarkan seseorang untuk mendapatkan ilmu."
“Allah akan memudahkan jalannya menuju Surga” mempunyai dua makna. 
  • Pertama, Allah akan memudahkan baginya memasuki Surga bagi orang yang menuntut ilmu yang tujuannya untuk mencari ridho Allah, untuk mendapatkan ilmu, mengambil manfaat dari ilmu dan mengamalkan konsekuensinya. 
  • Kedua, Allah akan memudahkan baginya jalan ke Surga pada hari Kiamat ketika melewati “shirath” dan dimudahkan dari berbagai ketakutan yang ada sebelum dan sesudahnya. Wallaahu a’lam 
Untuk Download silahkan klik text link berikut;
  • Tugas Semester Akhir TA 2012-2013 dan Lembar Jawaban A
  • Tugas Akhir Sekolah TA 2012-2013 dan Lembar Jawaban B 
Catatan;  Dikumpul selambatnya hari Selasa tanggal 19 Februari 2013.
Rencana Allah Pasti Indah

Ketika aku masih kecil, waktu itu ibuku sedang menyulam sehelai kain. Aku yang sedang bermain di lantai, melihat ke atas dan bertanya, apa yang ia lakukan. Ia menerangkan bahwa ia sedang menyulam sesuatu di atas sehelai kain. Tetapi aku memberitahu kepadanya, bahwa yang kulihat dari bawah adalah benang ruwet.

Ibu dengan tersenyum memandangiku dan berkata dengan lembut, "Anakku, lanjutkanlah permainanmu, sementara ibu menyelesaikan sulaman ini; nanti setelah selesai, kamu akan kupanggil dan kududukkan di atas pangkuan ibu dan kamu dapat melihat sulaman ini dari atas."

Aku heran, mengapa ibu menggunakan benang hitam dan putih, begitu semrawut menurut pandanganku. Beberapa saat kemudian, aku mendengar suara ibu memanggil. "Anakku, mari kesini, dan duduklah di pangkuan ibu"

Waktu aku lakukan itu, aku heran dan kagum melihat bunga-bunga yang indah, dengan latar belakang pemandangan matahari yang sedang terbit, sungguh indah sekali. Aku hampir tidak percaya melihatnya, karena dari bawah yang aku lihat hanyalah benang-benang yang ruwet.

Kemudian ibu berkata, "Anakku, dari bawah memang nampak ruwet dan kacau, tetapi engkau tidak menyadari bahwa di atas kain ini sudah ada gambar yang direncanakan, sebuah pola, ibu hanya mengikutinya. Sekarang, dengan melihatnya dari atas kamu dapat melihat keindahan dari apa yang ibu lakukan."

Renungan

Demikian halnya dengan Allah lakukan...
Allah telah membuat pola yang indah untuk kehidupan kita...
Pada waktu menjalani 'pola Tuhan' memang tidak mudah...
Tetapi bila bersabar...pada saatnya Engkau akan melihat keindahan itu

PILIH MANA

Di dunia bahagia di akhirat susah;
Di dunia susah di akhirat bahagia;
Di dunia & akhirat susah;
Di dunia & akhirat bahagia ?

Di dunia bahagia tapi di akhirat
susah adalah orang-orang kafir
yang dibukakan pintu-pintu rizki
untuk menambah dosa-dosanya.

Di dunia susah tapi di akhirat
bahagia adalah orang-orang
muslim yang tidak dibukakan
pintu-pintu rizki baginya dan
mereka tidak memahami HIKMAH.

Di dunia dan akhirat susah adalah
orang-orang kafir yang dibatasi
rizkinya, banyak berbuat
keburukan/dosa dan tidak
memahami HIKMAH.

Di dunia dan akhirat bahagia
adalah orang-orang muslim yang
dalam keadaan apapun dia
bahagia, kebahagiaannya bila
Allah ridlo dan mereka memahami
HIKMAH.