Tadabbur Surat al-A’la
KEBERUNTUNGAN
DARI GENERASI KE GENERASI
Mukaddimah: Yang Maha Tinggi
Surat Al-A’lâ menurut jumhur mufassirin (ulama tafsir) diturunkan di Makkah setelah Surat At-Takwir (إذا الشمس كوّرت)([1]).
Sebagian ulama ada yang berpendapat surat ini diturunkan di Madinah
karena memuat berita tentang Shalat Id dan zakat ftrah. Tapi pendapat
ini dilemahkan oleh Imam Jalaluddin as-Suyuthi, Ibnu Sa’d dan Ibnu Abi
Syaibah.
Surat ini sebagaimana surat makkiyah lainnya,
masih menekankan aspek akidah dan kei-manan, hanya saja isinya sangat
umum. Berisi tentang tanda-tanda kekuasaan dan keesaan Allah swt serta
membicarakan wahyu dan kitab serta suhuf yang diturunkan kepada para
nabi. Juga disinggung mengenai nasib yang baik bagi orang yang suka
menyucikan dirinya dengan amal kebaikan([2]). Karena tema pesar surat ini adalah tasbih (penyucian). Bahkan diawali dengan sebuah perintah “sabbih” (sucikanlah) Maha Suci Allah dari segala tuduhan yang tidak benar.
Surat al-A’la memiliki beberapa keistimewaan, di antaranya; disukai oleh Rasulullah saw:
- Seperti riwayat Imam Ahmad, al-Bazzar dan Ibnu Marduyah dari riwayat Imam Ali bin Abi Thalib ra. bahwa beliau menyukai surat sabbihisma. Dalam riwayat Abu Ubaid bahkan disebut sebagai afdhalu al-Musabbihat (surat yang diawali dengan tasbih yang paling afdhal).
- Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah, al-Hakim dan al-Baihaqi meriwayatkan dari Aisyah binti Abi Bakar ra. bahwa dalam shalat witir pada rakaat pertama Rasulullah saw sering membaca surat al-A’la, kemudian pada rakaat kedua membaca al-Kafirun dan pada rakaat ketiga membaca al-Ikhlas.
- Imam Muslim, Ibnu Abi Syaibah, Imam Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Nu’man bin Basyir ra. bahwa dalam Shalat dua Id dan Shalat Jum’ah pada rakaat pertama Rasulullah saw sering membaca surat al-A’la dan pada rakaat kedua membaca al-Ghasyiah.
- Imam ath-Thabrani meriwayatkan dari Abdullah bin Harits beliau berkata: Shalat berjamaah terakhir Rasulullah saw adalah Shalat Maghrib dan pada rakaat pertama beliau membaca al-A’la sedang pada rakaat kedua beliau membaca al-Kafirun([3]).
Adapun hadits-hadits yang menyebutkan tentang fadhilah surat
al-A’la dengan redaksi seperti ini: Barang siapa membaca surat ini maka
akan mendapat ini atau pahalanya akan dilipatkan menjadi sekian karena
hurufnya diistimewakan atau yang sejenisnya, kebanyakan riwayat tersebut
lemah bahkan bisa digolongkan sebagai hadits maudhu’ (hadits palsu).
Bertasbihlah
Surat ini termasuk salah satu surat yang diawali dengan tasbih. Surat-surat tersebut ada yang dibuka dengan tasbih dalam bentuk past tense (fi’il madhi) “سَبَّحَ” ada yang berbentuk present tense (fi’il mudhari’) “يُسَبِّحُ” dan ada yang berbentuk kata perintah (fi’il amr)“سَبِّحْ” seperti surat yang sedang kita tadabburi kali ini.
“Sucikanlah nama Tuhanmu yang Maha Tinggi” (QS. 87: 1)
Dan siapa yang lebih berhak untuk ditinggikan dan disucikan
melainkan hanya Dzat yang serba maha ini. Tuhan yang maha tinggi,
kemuliaan-Nya tiada yang melangkahinya, keperkasaan-Nya tiada yang
sanggup menandinginya.
Dalam setiap ruku’ dan sujud kita selalu membaca tasbih,
mengakui kesucian dan ketinggian-Nya, maka di luar shalat seharusnya
kita lebih menyucikan dan meninggikan Allah. Dan ketinggian di sini
bukanlah sebuah ketinggian materi dan tempat atau kedudukan. Namun
ketinggian dengan segala maknanya. Berkuasa, serba mampu bertindak dan
melakukan apa saja.
“Yang menciptakan, dan menyempurnakan (penciptaan-Nya)” (QS. 87: 2)
Allah lah Sang Pencipta dengan sebenar makna penciptaan
yang selalu menyempurnakan ciptaan-Nya. Apalagi ciptaan Allah yang
bernama manusia, Allah bekali dengan segala kesempurnaan([4]).
“Dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk” (QS. 87: 3)
Asy-Syibli dan Abu Bakar al-Wasithy mengatakan “Allah
menentukan kebahagiaan dan kesengsaraan, Dia tunjuki jalan kebahagiaan
dengan mudah untuk orang-orang yang berbahagia. Dan Dia mudahkan jalan
kesengsaraan bagi orang-orang yang celaka” ([5]). Al-Baghawi memberikan penafsiran lain, “Allah tentukan kemanfaatan dan memberikan jalan serta petunjuk bagi manusia untuk mengeluarkan dan memanfaatkannya” ([6]).
“Dan yang menumbuhkan rumput-rumputan. Lalu dijadikan-Nya rumput-rumput itu kering kehitam-hitaman” (QS. 87: 4-5)
Dialah yang menumbuhkan dan menghidupkan rumput basah dan
menjadikannya rizki serta makanan untuk binatang ternak. Dia juga yang
sanggup mematikannya, mengubahnya dari segar dan basah menjadi kering
kehitaman([7]).
“Ghutsa`” artinya kering sehingga mudah terbawa air atau tiupan angin dan “Ahwa” berarti hitam, dan tidak seperti aslinya yaitu berwarna hijau([8]).
Ibnu Manzhur mengatakan aslinya adalah hitam, dipakai untuk tumbuhan
yang kering. Beliau menukil dari al-Jauhari bahwa ahwa dipakai untuk
warna hitam campuran karena warna aslinya tidak demikian([9]). Az-Zamakhsyari menambahkannya ia menjadi kering dan kemudian hancur([10]).
Tanaman yang tadinya hijau. Indah dipandang mata. Ranting
dan daunnya terlihat gagah dan kencang, kemudian bisa berubah menjadi
kering dan berwarna hitam. Hitam yang mengerikan. Tanda kematian.
Seharusnya manusia berpikir. Sebagaimana tumbuhan berotasi,
ia pun akan mengalaminya. Dari tak berdaya saat menjadi bayi kemudian
menjadi gagah ketika berusia remaja dan dewasa. Ia juga akan seperti
tanaman, kering dan kemudian mati. Siapakah yang membuat rotasi usia
ini.
Allah Menjaga Wahyu dan Kitab-Nya
“Kami akan membacakan (Al Quran) kepadamu (Muhammad)
Maka kamu tidak akan lupa. Kecuali kalau Allah menghendaki. Sesungguhnya
dia mengetahui yang terang dan yang tersembunyi” (QS. 87: 6-7)
Allah menjaga wahyu dan kitab-Nya dengan menurunkan
malaikat Jibril yang terus memantau hafalan Nabi Muhammad saw dan
mengeceknya terus. Sebagian ulama mengartikannya bahwa Nabi Muhammad saw
dikaruniai hafalan yang sangat kuat sehingga tidak akan lupa. Kecuali
hal-hal yang dikehendaki oleh Dzat Yang Maha Tahu. Dan hal tersebut
tidak terjadi.
Yang menarik dalam ayat ini adalah perpindahan kata ganti dari kata ganti pertama“سنقرئك” yang berarti “akan Kami bacakan” menjadi kata ganti ketiga “إلا ما شاء الله” yang berarti “kecuali yang Allah kehendaki”. Al-Alusy mengomentari hal ini, “gaya
bahasa (uslub) iltifât (berganti) ini untuk menandai pendidikan
ketuhanan dan untuk menampakkan kemahabesaran Allah. Karena lafzhul
jalalah (Allah) terasa melekat dengan berbagai nama dan sifat ketuhanan” ([11]).
“Dan kami akan memberi kamu taufik ke jalan yang mudah” (QS. 87: 8)
Allah lah yang memudahkan jalan bagi Nabi Muhammad saw
untuk menghafal-kan kalam dan wahyu-Nya. Dengan menurunkan malaikat
Jibril seperti yang disinggung sebelumnya. Juga dengan memudahkan dalam
menghafalnya. Ibnu Katsir dan al-Qurthuby menafsirkannya lebih umum
yaitu memudahkan jalan kebaikan([12]).
Maka lakukanlah dan amalkanlah yang kau terima dengan terus berdakwah. “Oleh sebab itu berikanlah peringatan karena peringatan itu bermanfaat” (QS. 87: 9)
Lakukanlah terus mengingatkan kaummu wahai Muhammad,
meskipun bagi sebagian orang peringatan itu tidak membuatnya mengubah
sikap dan pendirian. Sebagaimana yang ditegaskan Imam al-Wahidy. Beliau
menambahkan bahwa Nabi Muhammad bertugas mengingatkan saja. Kemanfaatan
peringatan itu dikembalikan kepada Allah juga sikap orang-orang yang
mendengarnya, apakah percaya atau mendustakannya([13]).
Dua Sikap yang Selalu Ada
“Orang yang takut (kepada Allah) akan mendapat
pelajaran. Dan orang-orang yang celaka (kafir) akan menjauhinya, (yaitu)
orang yang akan memasuki api yang besar (neraka). Kemudian dia tidak
akan mati di dalamnya dan tidak (pula) hidup” (QS. 87: 10-13)
Peringatan dan risalah yang dibawa Nabi Muhammad akan mudah
diterima oleh orang yang takut Allah. Karena orang yangtakut kepada
Allah maka ia akan berhati-hati dalam bertingkah laku.
Sementara orang yang selalu menjauhinya sesungguhnya orang
tersebut mencelaka-kan diri. Karena sikapnya itu akan menjerumuskannya
ke dalam neraka. Dan hidup di neraka tidak bisa didefinisikan. Mereka
tidak bisa disebut hidup juga tak bisa disebut sebagai mayyit.
Orang-orang yang takut di atas adalah orang yang beruntung. “Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman)”
(QS. 87: 14) Karena dari waktu ke waktu mereka selalu berusaha
menyucikan diri. Bertasbih dengan lisan dan anggota tubuhnya. Kata-kata
yang dikeluarkannya juga bersih karena keluar dari hati yang bersih.
Apalagi ia mengimani dan percaya kepada peringatan yang dibawa oleh Nabi
Muhammad saw. Kemudian setelah itu ia mampu menjaga hidupnya secara
konsisten dalam keistiqamahan sikap. Dan kali ini Allah menyebut dua
amal yang dilakukan oleh orang beruntung yang selalu menyucikan jiwanya.
Yaitu dengan zikir dan dan shalat. “Dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia shalat” (QS. 87: 15)
Hal ini bertolak belakang dengan sikap orang-orang yang selalu menjauhi peringatan Nabi saw. “Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal” (QS. 87: 16-17)
Hanya orang-orang yang bodoh saja yang memilih keindahan
yang semu. Karena kehidupan dunia ini adalah permainan yang ada
batasnya. Hal senada juga dipesankan oleh guru besar tarekat
asy-Syadziliyah, Ibnu ‘Athaillah as-Sakandary:
أرح نفسك من التدبير، فما قام به غيرك عنك لا تقم به لنفسك
“Istirahatkanlah dirimu dari mengatur urusan duniawi
dengan susah payah. Karena, hal yang sudah diurus oleh orang selain
engkau (yaitu Allah), maka tak perlu lagi kau turut mengurusnya” ([14]).
Jika Allah telah menyiapkan segalanya untuk kita di dunia
ini maka kita tinggal menjemput nasib kita dengan berusaha dan kemudian
memasrahkannya kepada Allah apapun hasilnya. Sikap ini akan terlihat
dari pola hidup yang kita jalani. Orang yang matang dalam menerima
takdir ini akan senantiasa bersyukur terhadap karunia Allah. Ia akan
selalu memper-barui rasa syukurnya. Penerimaan takdir ini juga tidak
membuatnya apatis dan gampang menyerah karena dia tahu bahwa Allah
menurunkan segala sesuatu dengan sebab. Allah yang mencipta sebab dan
memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk melakukan sesuatu untuk menjemput
sebab-sebab diturunkannya karunia dan pertolongan Allah. Pukulan tongkat
Nabi Musa yang tak seberapa dijadikan Allah sebagai sebab turunnya
pertolongan-Nya. Air laut berubah menjadi jalan yang dibentangkan untuk
Musa dan kaumnya yang ketakutan dari kejaran Fir’aun yang sangat zhalim.
Demikian juga goyangan lemah tangan Maryam terhadap pohon kurma di saat
tubuhnya keletihan dan jiwa didera sakit karena difitnah dijadikan
sebab turunnya pertolongan Allah berupa buah kurma yang lezat dan siap
dimakan.
Orang-orang inilah yang digambarkan oleh Rasulullah sebagai orang cerdas “al-kayyisu”
yaitu orang yang memikirkan dan merancang sesuatu untuk berbekal di
kehidupan setelah ia mati. Bahkan ia menyiapkan untuk anak keturunannya
sebagaimana persiapan Nabi Ya’kub untuk mengondisikan anak-anaknya agar
senantiasa menyembah dna mengenal Tuhannya.
Orang-orang yang demikian adalah orang yang benar-benar laik mendapatkan keberuntungan dan kebahagiaan abadi.
Kebenaran yang Selalu Dibawa Oleh Utusan-Nya
Sudah menjadi sunnah Allah bahwa peringatan-peringatan
seperti disebut di atas selalu dibekalkan kepada setiap utusan-Nya dari
masa ke masa.
“Sesungguhnya ini benar-benar terdapat dalam kitab-kitab yang dahulu, (yaitu) kitab-kitab Ibrahim dan Musa” (QS. 87: 18-19)
Karena al-Qur’an bukanlah kitab yang pertama diturunkan
Allah pada Rasul-Nya. Sebelumnya Allah pernah menurunkan kitab-kitab
juga shahifah (pluralnya: shuhuf) kepada Nabi dan
Rasul-Nya. Seperti hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Hibban dan
al-Hakim. Abu Dzar pernah bertanya kepada Rasulullah saw tentang jumlah
kitab Allah. Beliau menjawab: “ada 104. 10 diturunkan
kepada Nabi Adam as. 50 kepada Nabi Syits, 30 kepada Idris. Ibrahim
mendapatkan 10. Musa juga mendapatkan 10 sebelum diturunkan Taurat
kepadanya. Dan Allah turunkan Taurat, Zabur, Injil dan al-Qur’an” ([15]).
Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa Shuhuf Musa adalah merupakan nama lain dari Kitab Taurat([16]).
Dan dalam surat ini sebagaimana dalam surat an-Najm disebut
dua Nabi ini saja. Hal ini karena mereka berdua (Nabi Ibrahim dan Nabi
Musa) yang paling dikenal oleh bangsa Arab waktu diturunkannya
al-Qur’an. Nabi Ibrahim as. dikenal dengan syari’ah dan ajarannya yang
kemudian disebut dengan hanif. Sedangkan Nabi Musa adalah nabi
yang paling dikenal di kalangan ahli kitab yang saat itu juga
berinteraksi langsung dengan umat Islam.
Adapun didahulukannya Nabi Musa dalam penyebutan karena
beliau membawa syariah dan ajaran yang banyak. Sementara Nabi Ibrahim
hanya diberikan shuhuf yang banyaknya hanya 10 lembar saja([17]).
Al-Imam al-Akbar Syeikh al-Maraghi merinci bahwa isi Shuhuf
Ibrahim dan Musa ini dijelaskan Allah. Ada 14 hal yang kemudian disebut
Allah dalam surat an-Najm ayat 38-54([18]).
Ini adalah penjelasan kedua shuhuf yang disebut dalam surat an-Najm
ayat 36 dan 37 dan diulang kembali di akhir surat al-A’la. Dan keempat
belas hal tersebut intisarinya ada pada ayat 14 dalam surat al-A’la.
Bahwa orang-orang beriman yang menyucikan dirinya akan meraih kemenangan
Allah dan orang yang memusuhi mereka akan berkesudahan dengan nasib
yang sangat buruk.
Secara umum sebagian besar ulama tidak membedakan antara Kitab dan Shahifah. Demikian menurut sebagian besar pakar bahasa, sebagaimana disebutkan dan dinukil oleh Ibnu Manzhur. Shahifah secara bahasa adalah yang didalamnya dituliskan sesuatu. Sedangkan shahifah yang dimaksud di dalam al-Qur’an adalah kitab Allah yang diturunkan kepada para nabi-Nya([19]).
Hanya saja kitab yang dikenal diturunkan Allah kepada para
nabinya ada empat yaitu: Taurat, Zabur, Injil dan al-Qur’an. Mungkin ada
benarnya pendapat yang menyebutkan bahwa bisa jadi shahifah yang diberikan kepada nabi jumlahnya lebih sedikit dari yang diturunkan dengan sebutan al-kitab.
Terlepas dari perbedaan pendapat tentang terminologi kitab dan shahifah. Kandungan kedua shahifah yang dimuat dalam surat an-Najm dan surat al-A’la menegaskan bahwa:
- Manusia diperintahkan berusaha dan berbuat, kelak ia akan dibalas dan diberi ganjaran sesuai amalnya. Tidak seorang pun dari mereka yang menanggung dosa orang lain.
- Keberuntungan, kebahagiaan semua Allah yang memilikinya. Allah juga yang memberi jalannya. Namun, tidak sedikit dari manusia yang memilih jalan kesengsaraan.
- Allah adalah akhir dari segalanya. Semua akan kembali kepada Dzat yang kekal ini. Semuanya akan hancur dan binasa.
- Kehancuran di dunia Allah timpakan kepada para pendusta dan pembangkang yang selalu melawan para utusan-Nya.
- Kebahagiaan dan keberuntungan ditulis Allah sebagai bagian dan nasib untuk orang-orang beriman yang senantiasa menyucikan jiwanya.
Semoga kita termasuk dalam catatan keberuntungan dan
kebahagiaan yang dikabarkan Allah dalam al-Qur’an, juga shahifah Musa
dan Ibrahim serta yang diturunkan kepada para nabi-Nya. Amin.
Jakarta, Selasa, 12 Januari 2010
* Tadabbur surat Al-A’lâ (Yang Paling Tinggi): [87], Juz Amma (30)
** Mahasiswa Program S3 Jurusan Tafsir dan Ilmu al-Qur’an Universitas al-Azhar, Cairo
([1]) lihat: Jalaluddin as-Suyuthi, al-Itqân fi ‘Ulûmi al-Qur’ân, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiah, Cet.I, 2004 M/1425 H, hlm. 26; Badruddin az-Zarkasyi, al-Burhân fi ‘Ulûmi al-Qur’ân, Beirut: Darul Fikr, Cet.I, 1988 M/1408 H, Vol.1, hlm. 249. Prof. Dr. Jum’ah Ali Abd. Qadir, Ma’âlim Suar al-Qur’ân, Cairo: Universitas al-Azhar, cet.I, 2004 M/1424 H, vol.2, hlm.786
([2]) Muhammad Ali Ash-Shabuni, Ijazu al-Bayan fi Suar al-Qur’an, Cairo: Dar Ali Shabuni, 1986 M-1406 H, hlm. 293-294
([3]) Syihabuddin al-Alusy, Ruhul Maani, Beirut: Dar al-Fikr, 1997 M-1417 H, Vol. 30, hlm.183
([4])Az-Zajjaz, Ma’ami al-Qur’an wa I’rabuhu, Cairo: Darul Hadits, 2004 M/1424 H, Vol.V, hlm. 241
([5]) seperti disitir oleh Abu Abdirrahman as-Sulami (Haqa’iq at-Tafsir, tahqiq: Sayyed Imran, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiah, Cet.I, 2001 M-1421 H, Vol.II, hlm. 389)
([6]) al-Baghawy, Ma’alim at-Tanzil, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiah, Cet.I, 2004 M-1424 H, Vol.IV, hlm. 444
([7]) Az-Zajjaj, Ma’ani al-Qur’an wa I’rabuhu, Op.Cit, 5/241
([8])Abu Zakaria Al-Farrâ’, Ma’ani al-Qur’an, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiah, Cet.1, 2003 M/1423 H, Vol.III, hlm. 143
([9]) Ibnu Manzhur, Lisan al-Arab, Cairo: Dar al-Ma’arif, tt. Vol. II, hlm. 1061
([10]) Jarullah abu al-Qasim Mahmud bin Umar Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyaf, Tahqiq: Syeikh Adil Abdul Maujud dan Ali Muawwadh, Riyadh: Maktabah Ubaikan, Cet.I, 1998 M-1418 H,Vol.VI, hlm. 357
([11]) disarikan dari Ruh al-Ma’any, Op.Cit, 30/191
([12]) al-Qurthuby, al-Jami’ li Ahkami al-Qur’an, Cairo: Darul Hadits, 2002 M-1423 H, Vol.X, hlm. 276. lihat juga: Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, Al-Mansoura: Maktabah al-Iman, 1996 M-1417 H, vol.VIII, hlm. 216
([13]) disarikan dari perkataan Imam al-Wahidy dalam tafsirnya (Al-Wahidy,al-Washit fi Tafsiri al-Qur’an al-Majid, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, Cet.I, 1994 M-1415 H, Vol.IV, hlm. 470)
([14]) Ibnu Atha’illah as-Sakandary, Kitab al-Hikam, Jakarta: Khatulistiwa Press, Cet.II, Juni 2008, hlm. 8
([15]) hadits ini dengan redaksi yang mirip disitir oleh
Imam az-Zamakhsyari dan al-Alusy dalam tafsirnya. Sebagian ada yang
membenarkan sanad haditsnya tapi kebanyakan ulama hadits melemahkan
hadits ini. (al-Kasyaf, Op.Cit, 6/360. Ruhul Ma’any, Op.Cit, 30/198.) Imam Suyuthi dan Ibnu al-Jauzi (Abdurrahman Ibnu al-Jauzi, Zadul Masir, Beirut: al-Maktab al-Islamy, Cet.III, 1984 M-1404 M. Vol.VIII, hlm. 79)
([16]) Seperti Abu Hayyan dalam tafsirnya ketika menafsiri surat an-Najm ayat 36. (Lihat: Abu Hayyan, al-Bahr al-Muhith, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiah, Cet.I, 1993 M-1413 H, Vol.VIII, hlm. 164), Juga Ibnu Asyur dalam Tafsir at-Tahrir wa at-Tanwir, Tunis: Ad-dar at-Tunisiah li an-Nasyr, 1984, Vol.27, hlm. 129-130.
([17])Tafsir at-Tahrir wa at-Tanwir, Ibid. hlm.130.
([18]) Syeikh Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Cairo: Mustafa al-baby al-Halaby, Cet.I, 1946 M-1365 H, Vol. 27, hlm. 63
([19]) Ibnu Manzhur, Lisan al-Arab, Op.Cit, Vol. 27, hlm. 2404Di sarikan dari Dr. H. Saiful Bahri, MA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar