Sabtu, 01 Oktober 2016

Kesatuan Piagam Jakarta Dan Pancasila

Oleh : Nuim Hidayat 


Peneliti Insists dan Ketua Dewan Da’wah Islamiyah Depok

Ketika 2004, Hidayat Nur Wahid menjadi Ketua MPR, ia langsung diinterupsi seorang anggota DPR dari PDIP, bahwa jangan sekali-kali membawa-bawa Piagam Jakarta. Begitu pula ketika banyak Perda di negeri ini yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, kalangan Kristiani menyatakan : “Kita memerlukan presiden yang tegas dan berani menentang segala intrik atau manuver-manuver kelompok tertentu yang ingin merongrong Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini. Ketika kelompok ini merasa gagal memperjuangkan diperlakukannya “Piagam Jakarta”, kini mereka membangun perjuangan ini lewat jalur legislasi. Mereka memasukkan nilai-nilai agama mereka ke dalam perundang-undangan.  Kini ada banyak UU yang mengarah kepada syariah, misalnya UU Perkawinan, UU Peradilan Agama, UU Wakaf, UU Sisdiknas, UU Perbankan Syariah, UU Surat Berharga Syariah (SUKUK), UU Yayasan, UU Arbitrase, UU Pornografi dan Pornoakasi, dan lain-lain. Apapun alasannya semuanya ini bertentangan dengan prinsip dasar negara ini.” (Tabloid Reformata edisi 110/2009).

Fenomena di atas dapat menjawab artikel saudara Muhammadun yang berjudul ‘Pancasila dan Demokrasi Kita’. (Republika 1 Juni 2013). Dalam artikelnya itu Muhammadun menyatakan: “Lahirnya Pancasila merupakan indikasi bahwa bangsa Indonesia sudah mengakhiri negara agama. Bangsa Indonesia lebih memilih negara bangsa karena bangsa Indonesia bukanlah terdiri dari satu agama saja. Indonesia memiliki banyak agama sehingga ideologi yang tepat adalah Pancasila. Mengeja kisah Piagam Jakarta bukanlah mengeja kisah kegagalan politik agama. Karena gagalnya Piagam Jakarta menjadi dasar negara merupakan berkah politik yang luar biasa bagi tegaknya NKRI dan tegaknya demokratisasi di Indonesia. “ Analis UIN ini melanjutkan: “Kisah kegagalan Piagam Jakarta justru menjadi pelajaran politik yang berharga bahwa mendirikan negara agama dalam konteks Indonesia tidak sesuai dengan pluralitas dan multikulturitas Indonesia. Dari Piagam Jakarta inilah negara bangsa menjadi pilihan terbaik untuk Indonesia.”


Dalam artikel Muhammadun ini terdapat kesalahan besar, yaitu dengan pernyataannya kegagalan Piagam Jakarta. Kalau kita telusuri sejarah bangsa kita dengan teliti, Piagam Jakarta yang dirumuskan Panitia Sembilan (sebagai Tim Kecil dari BPUPKI) tidaklah mengalami kegagalan.  Piagam Jakarta adalah satu kesatuan dengan Pancasila/UUD 45.

Seperti diketahui, yang dimaksud Piagam Jakarta adalah Pembukaan UUD 45, dimana di dalamnya terkandung Pancasila. Hanya saja sila Pertama yang berubah dari Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya diubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila dua, tiga, empat dan lima adalah persis seperti sekarang.

Perumus Piagam Jakarta ini adalah Panitia Kecil yang disarikan dari anggota-anggota BPUPKI. Bila dikategorikan dari asal golongannya, mereka terdiri dari empat orang nasionalis sekuler, empat orang nasionalis Islam dan satu orang Kristen. Mereka adalah : Soekarno, Mohammad Hatta, Mohammad Yamin, Ahmad Soebardjo, Agus Salim, Wachid Hasyim, Abikusno Tjokrosuyoso, Kahar Muzakir  dan AA Maramis. Pada 22 Juni 1945, setelah ‘hampir sebulan’ mereka berdebat, rapat yang dipimpin Soekarno itu sepakat dengan Piagam Jakarta.

Piagam Jakarta yang disepakati sebelumnya akan dibaca bila proklamasi kemerdekaan Indonesia diproklamirkan ternyata tidak dibaca oleh presiden kita. Diganti, maaf, dengan coret-coretan Soekarno yang dirundingkan di kediaman Laksamana Maeda di rumahnya, pagi Subuh 17 Agustus 1945. Dan pada 18 Agustus 1945, terjadilah pergantian Sila Pertama Piagam Jakarta itu.

Dalam rapat yang dipimpin Soekarno yang berlangsung pada jam 11.30-13.45, itu diputuskan : Pertama, Kata Mukaddimah diganti dengan kata Pembukaan. Kedua, dalam Preambul (Piagam Jakarta), anak kalimat: “berdasarkan kepada Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, diubah menjadi “berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ketiga, Pasal 6 ayat 1, “Presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama Islam”, kata-kata “dan beragama Islam” dicoret. Keempat, sejalan dengan perubahan yang kedua di atas, maka Pasal 29 ayat 1 menjadi “Negara yang berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa”, sebagai pengganti “Negara berdasarkan atas Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” (baca buku Piagam Jakarta, Endang Saefudin Anshari, GIP).

Perlu dicatat, tidak ada satupun ‘tokoh Islam perumus Piagam Jakarta 22 Juni 1945’ yang hadir dalam rapat mendadak yang dipimpin Soekarno saat itu. Yang mewakili tokoh Islam saat itu adalah Ki Bagus Hadikusumo dan  Kasman Singodimedjo. Kasman menceritakan bahwa ia dilobi oleh Hatta sebelum rapat siang hari itu (dan Hatta menyatakan bahwa ia mendapat tekanan dari Panglima Jepang dan wakil-wakil Indonesia Timur). Yang hadir selain Kasman dan Ki Bagus adalah Soekarno, Hatta, Supomo, Radjiman Wedyodiningrat, Soeroso, Soetardjo, Oto Iskandar Dinata, Abdul Kadir, Soerjomihardjo, Purbojo, Yap Tjwan Bing, Latuharhary, Amir, Abbas, Mohammad Hasan, Hamdhani, Ratulangi, Andi Pangeran dan I Bagus Ketut Pudja.

Tapi yang menarik dalam lobinya ke Kasman dan Ki Bagus, Hatta menyatakan bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa, maknanya tauhid. Kasman menulis dalam bukunya: “Bung Hatta sendiri pada bulan Juni dan Agustus 1945 menjelaskan bahwa Tuhan Yang Maha Esa itu ialah Allah, tidak lain kecuali Allah. Dan waktu beliau mengusulkan supaya Ketuhanan itu dengan rumus “Ketuhanan Yang Maha Esa” dijadikan sila pertama (dan bukan seperti maunya Bung Karno sebagai sila kelima dengan rumus “Ketuhanan”), maka Bung Hatta memberi penjelasan supaya Allah dengan NurNya itu kepada sila-sila yang empat lainnya dari Pancasila itu.”

Memang istilah Pancasila mungkin dari Soekarno atau Yamin. Tapi isi dari teks Pancasila itu, empat tokoh Islam itu mempunyai andil besar. Kata adil, beradab, kerakyatan, hikmah, kebijaksanaan, permusyawaratan dan perwakilan adalah kosa-kosa kata Islam yang hampir mustahil disuarakan oleh tokoh-tokoh sekuler atau Kristen saat itu. Sayangnya hingga kini belum ditemukan (atau jangan-jangan sengaja dihilangkan) pembahasan atau notulen secara rinci perumusan Pancasila itu. Dari 30 anggota BPUPKI yang berbicara, Yamin hanya menuliskan tiga orang saja dalam bukunya.

Kalau kita lihat naskah dari Yamin, yang dipidatokan 29 Mei 1945, naskah Pancasilanya adalah 1. Perikebangsaan. 2. Perikemanusiaan. 3. Periketuhanan 4. Perikerakyatan 5. Kesejahteraan rakyat. Sedangkan pada 1 Juni 1945 Soekarno mengusulkan lima  rumusan dasar negara, yaitu: 1. Kebangsaan Indonesia. 2. Internasionalisme atau perikemanusiaan. 3. Mufakat atau demokrasi. 4. Kesejahteraan social 5. Ketuhanan yang berkebudayaan.

Jadi, meski 17-18 Agustus 1945 ‘isi penting Piagam Jakarta’ dimentahkan oleh Soekarno dkk, dan pada Sidang Majelis Konstituante 1956-1959 mengalami deadlock tentang dasar negara, tetapi pada 5 Juli 1959 Piagam Jakarta dinyatakan Presiden Soekarno dalam dekritnya secara tegas bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD 45 dan merupakan satu rangkaian kesatuan yang tidak terpisahkan. Dengan dekrit ini, secara prinsip tidak boleh lahir satu undang-undangpun di negeri ini yang bertentangan dengan Islam. Dan itu wajar saja, karena memang negeri ini lahir dari pengorbanan mayoritas jiwa dan raga ulama-umat Islam.

Karena itu Presiden Soekarno saat memperingati Hari Lahir Piagam Jakarta, 22 Juni 1965 menyatakan: “Nah Jakarta Charter ini saudara-saudara sebagai dikatakan dalam Dekrit, menjiwai UUD 1945 dan merupakan satu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut. Jakarta Charter ini saudara-saudara, ditandatangani 22 Juni 1945. Waktu itu jaman Jepang…Ditandatangani oleh –saya bacakan ya– Ir Soekarno, Drs Mohammad Hatta, Mr AA Maramis, Abikusno Tjokrosuyoso, Abdul Kahar Muzakkir, Haji Agus Salim, Mr Achmad Subardjo, Wachid Hasyim, dan Mr Mohammad Yamin, 9 orang.” *

Sabtu, 03 September 2016

Jawablah Pertanyaan, "Kemanakah Kamu akan Pergi?"

SEBUAH pertanyaan yang sering terngiang di ingatan. Sebuah pertanyaan yang terkadang sulit untuk mengundang jawaban. Salah satu pertanyaan yang dapat menentukan masa depan. Salah satu pertanyaan abadi dalam kehidupan yang akan terus menerus ditanyakan.

Maka kemanakah kamu akan pergi?

Jika dihubungkan dengan kehidupan, maka ketika saat ini masih sekolah, jawabnya mungkin lanjut kuliah. Jika saat ini menempuh perkuliahan, jawabnya mungkin lanjut mencari penghasilan. Jika saat ini sedang mencari penghasilan, jawabnya mungkin lanjut ke jenjang pernikahan. Begitu seterusnya hingga suatu saat pergi menginggalkan kehidupan.

Tapi sepertinya hal ini layak untuk dipikirkan. Bukankah jawaban kebanyakan orang memiliki kesamaan. Layaknya air di sungai, mengalir dari tempat yang tinggi. Mengikuti kemanapun sekitarnya pergi. Meskipin air terjun menanti, tetap saja pergi.

Sudah seharusnya kita menjadi diri sendiri. Diri yang mempunyai mimpi dan berikhtiar untuk mewujudkannya di masa depan. Diri yang mengikuti hati nurani dan berpegang teguh pada petunjuk Illahi. Diri yang berani menepi untuk menyebarkan benih-benih kebaikan.

Maka kemanakah kamu akan pergi?

Karena kehidupan ini adalah sebuah perjalanan. Perjalan yang hanya sementara, bagaikan selintas awan. Perjalanan yang akan menuntun ke sebuah tujuan. Walaupun terkadang perjalanan itu sendiri bisa melenakan. Membuat para penempuh perjalanan tersebut lupa akan sebuah arti kegigihan.

Maka sudah sepatutnya kita untuk saling mengingatkan. Agar tetap teguh dan tidak tenggelam dalam buaian. Agar menjadi pengembara kehidupan yang baik dan meninggalkan jejak-jejak kebaikan.

Maka kemanakah kamu akan pergi?

Pertanyaan ini yang terujar ketika menemui persimpangan. Pertanyaan ini yang terlintas ketika berhenti akibat kelelahan di perjalanan. Pertanyaan ini pula yang terbayangkan ketika sadar setelah teralihkan oleh fatamorgana berwujud khayalan. Namun, terkadang pengembara tersebut lupa akan petunjuk yang sudah jelas keberadaannya.

Kurang akan perbekalan yang dia bawa. Petunjuk dan bekal yang akan memimpin manusia ke jalan sebenar-benarnya. Itulah Alquran. Maka sudah seharusnya kita mengikuti petunjuk itu, agar sampai hingga ke tujuan. Sudah seharusnya kita membekali diri dengan ilmu dari Alquran (ilmu agama dan pengetahuan), agar setia ke jalan yang benar dan tidak mudah teralihkan dalam perjalanan.

Maka kemanakah kamu akan pergi?

Yakinkan diri bahwa yang pasti adalah menuju kebenaran. Bagaimanapun permulaan, jika ada niatan, maka akan selalu ada jalan. Karena sesulit apapun perjalanan, selalu dimulai dengan satu pijakan. Seburuk apapun keadaan, Allah selalu memberi ampunan.

Ingatlah pula bahwa kita tidak berjalan sendirian. Maka ajaklah kawan, mari kita bersama-sama mengarah ke kebaikan, serta menyebarkan kebermanfaatan. [inspirasi-islami] - See more at: http://mozaik.inilah.com/…/jawablah-pertanyaan-kemanakah-ka…

Kamis, 01 September 2016

Pesan di Balik Wahyu Pertama: Membaca Tidak Cukup Satu Kali


Oleh: DR. KH. Abun Bunyamin MA
Pimpinan Pondok Pesantren Al-Muhajirin Purwakarta


اقْرَØ£ْ بِاسْÙ…ِ رَبِّÙƒَ الَّذِÙŠ Ø®َÙ„َÙ‚َ

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhan-mu Yang menciptakan,” (QS Al-alaq: 1)

Bacalah ayat Al-Qur’an yang akan diberikan nanti, bacalah alam sekitar, bacalah dirimu dan kehidupan manusia di masa kini, masa lalu dan masa yang akan datang, baca atas nama Allah yang telah menciptakanmu.

Perintah membaca dengan keyakinan bahwa Allah tetap bersama kita di manapun kita berada. Iqra tidak selamanya berarti mengucapkan huruf, kata, atau kalimat. Tapi Iqra di sini bisa berarti sebagaimana yang telah disebut dalam kamus yaitu menyampaikan, menelaah, membaca, mendalami, meneliti, mengetahui ciri-ciri sesuatu yang kesemuanya berhipun dalam satu kata asal Iqra.

Bismi rabbika berarti bahwa segala gerak atau segala aktifitas manusia harus semata-mata demi Tuhan. Rabb berasal dari kata raba yarbu yang berarti kelebihan, peningkatan, ketinggian dan perbaikan. Artinya Allah yang memiliki kelebihan yang selalu mengembangkan dengan lebih baik kehidupan makhluknya.
Ø®َÙ„َÙ‚َ الإنْسَانَ Ù…ِÙ†ْ عَÙ„َÙ‚ٍ


“Dia telah menciptakan manusia, dengan segumpal darah.” (QS. Al-Alaq: 2)

Alaq adalah gumpalan darah yang bergantung pada dinding Rahim. Ayat ini memperkenalkan manusia bahwa asal-usul manusia selain nabi Adam dan Hawa (istrinya) adalah terbuat dari gumpalan tersebut. Implikasi penggunaan Alaq adalah penegasan bahwa manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa ketergantungan pada makhluk lainnya.

Al-Insan diartikan manusia, berasal dari kata anasa yang berarti senang, jinak dan harmonis atau dari kata nasiya yang berarti lupa, atau berasal dari kata nawasa yang berarti gerak atau dinamika.

Dengan demikian, watak manusia bisa tergambar dari makna ketiga kata asal tersebut. Dalam redaksi lain manusia disebut basyar yang maknanya merujuk pada keragaman fisik dan nalurinya.

اقْرَØ£ْ ÙˆَرَبُّÙƒَ الأكْرَÙ…ُ

“Bacalah, dan Tuhamulah Yang Maha Mulia” (QS. Al-Alaq: 3)

Kata Iqra disebut dua kali menunjukkan bahwa membaca tak cukup satu kali, membaca harus selalu diikuti dengan membaca lagi baik bentuk yang sama atau pun berbeda. Seperti membaca yang pertama untuk diri sendiri dan yang kedua untuk menyebarkan kepada orang lain.

Al-ikram berarti paling mulia, berasal dari kata karama yang berarti memberikan dengan mudah dan tanpa pamrih, bernilai tinggi, mulia, setia dan sifat kebangsawanan. Al-Qur’an mampu memberikan kepuasan bagi para pembacanya.

الَّذِÙŠ عَÙ„َّÙ…َ بِالْÙ‚َÙ„َÙ…   عَÙ„َّÙ…َ الإنْسَانَ Ù…َا Ù„َÙ…ْ ÙŠَعْÙ„َÙ…ْ


“yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.”

Ayat ini menegaskan kepada pembaca bahwa Allah telah memberi pengetahuan kepada seluruh umat manusia. Tanpa pengetahuan dari Allah, manusia tidak mengetahui apapun.

“Mereka menjawab: Mahasuci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sungguh Engkaulah Yang Maha Mengetahui, Maha Bijaksana.” (QS. Al-Baqarah: 32)

Kata Allama disebutkan dua kali, pertama disebut dengan qalam (pena) dan yang kedua diikuti oleh obyek yaitu al-insan (manusia) tanpa menyebutkan kembali kata qalam. Maksudnya Allah mengajarkan manusia dengan dua cara, yaitu dengan pena dan tanpa pena. Pengajaran menggunakan pena artinya manusia harus membaca atau dengan berusaha semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan dan potensi, sedangkan pengajaran tanpa pena artinya manusia akan diberi ilmu Allah walaupun tanpa usaha yang disebut dengan ilmu laduni (yang langsung dari Allah). Inilah yang selalu kita ucapkan dalam do’a:

Robbanaa Aatinaa min ladunka rohmatan Wa Hayyi lana min amrinaa rosyadaa

Artinya: “Ya Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah petunjuk yang lurus bagi kami dalam urusan kami.” (QS. Al-Kahfi: 10)

Dalam bahasa lain, ilmu laduni disebut juga ilmu mauhibah atau sering dikenal dengan istilah ‘ilmu hikmah’. Ilmu mauhibah dalam ilmu tafsir diartikan ilmu yang dianugerahkan Allah karena ketaatan yang istiqomah berikut keistimewaan jiwa dan anggota badan yang mempribadi dalam keesaan Allah yang dinamis.

Masyarakat mengkonotasikan orang-orang yang dianugerahi ilmu hikmah sebagai ‘orang pintar’. Dalam kenyataannya ilmu yang dimiliki ‘orang pintar’ berbeda dengan ilmu-ilmu mauhibah yang dimaksud, sebab ahli hikmah atau orang pintar dalam praktiknya di masyarakat agak sedikit bercampur dengan kebiasaan perdukunan.

Ayat 1-5 ini adalah wahyu pertama yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW di Gua Hiro pada bulan Ramadhan. Ayat ini adalah pembuka tugas kenabian Muhammad Saw sebagai nabi terakhir yang menjadi rahmat bagi seluruh alam. []

Diambil dari Majalah Taqoddum Edisi 14 Tahun keempat.

Selasa, 30 Agustus 2016

Ketika Kyai Ahmad Dahlan Memukul Kentongan

SUATU siang Kyai Ahmad Dahlan memukul kentongan mengundang penduduk Kauman ke rumahnya. Penduduk Kauman berduyun-duyun ke rumahnya.


Setelah banyak orang berkumpul di rumahnya, KHA Dahlan pidato yang isinya menyatakan bahwa kas Muhammadiyah kosong. Sementara guru-guru Muhammadiyah belum digaji.

Muhammadiyah memerlukan uang kira-kira 500 gulden untuk menggaji guru, karyawan dan membiayai sekolah Muhammadiyah.

Karena itu Kyai Ahmad Dahlan menyatakan melelang seluruh barang-barang yang ada di rumahnya. Pakaian, almari, meja kursi, tempat-tempat tidur, jam dinding, jam berdiri, lampu-lampu dan lain-lain.

Ringkasnya Kyai Ahmad Dahlan melelang semua barang-barang miliknya itu dan uang hasil lelang itu seluruhnya akan dipakai untuk membiayai sekolah Muhammadiyah, khususnya untuk menggaji guru dan karyawan.

Para penduduk Kauman itu terbengong-bengong setelah mendengar penjelasan Kyai Ahmad Dahlan. Murid-murid Kyai Ahmad Dahlan yang ikut pada pengajian Thaharatul Qulub sama terharu melihat semangat pengorbanan Kyai Ahmad Dahlan, dan mereka saling berpandangan satu sama lain, berbisik-bisik satu sama lain.

Singkat cerita, penduduk Kauman itu khususnya para juragan yang menjadi anggota kelompok pengajian Tharatul Qulub itu, kemudian berebut membeli barang-barang Kyai Ahmad Dahlan.

Ada yang membeli jasnya, ada yang membeli sarungnya, ada yang membeli jamnya, almari, meja kursi dsb.

Dalam waktu singkat semua barang milik Kyai Ahmad Dahlan itu habis terlelang dan terkumpul uang lebih dari 4.000 gulden.

Anehnya setelah selesai lelangan itu tidak ada seorang pun yang membawa arang-barang Kyai Ahmad Dahlan. Mereka lalu sama pamit mau pulang.

Tentu saja Kyai Ahmad Dahlan heran, mengapa mereka tidak mau membawa barang-barang yang sudah dilelang.

Kyai Ahmad Dahlan berseru, ”Saudara-saudara, silahkan barang-barang yang sudah sampeyan lelang itu saudara bawa pulang. Atau nanti saya antar?”

Jawab mereka, “Tidak usah Kiai. Barang-barang itu biar di sini saja, semua kami kembalikan pada Kiai.”

“Lalu uang yang terkumpul ini bagaimana?“ tanya Kyai Ahmad Dahlan.

“Ya untuk Muhammadiyah. Kan Kiai tadi mengatakan Muhammadiyah perlu dana untuk menggaji guru, karyawan dan membiayai sekolahnya?” Kata salah seorang dari mereka,

“Ya, tapi kebutuhan Muhammadiyah hanya sekitar 500 gulden, ini dana yang terkumpul lebih dari 4000 gulden. Lalu sisanya bagaimana?” tanya Kyai Ahmad Dahlan.

Jawab orang itu, “Ya biar dimasukkan saja ke kas Muhammadiyah.” []

Peristiwa ini terjadi sekitar tahun 1921. Sebagaimana ditulis oleh Sukriyanto AR dan dimuat Suara Muhammadiyah, No. 13/98/1-15 Juni 2013.

Repost dari wall Ma’mun Murod Al-Barbasy via status Anab Afifi

Senin, 29 Agustus 2016

Berkat Doa Ayah, Saya Dapatkan Kedudukan yang Terhormat


INGATKAH Anda bahwasanya doa orang tua itu bagaikan pedang yang tajam. Apa pun yang dipinta akan selalu dikabul oleh Allah SWT. Maka, sebagai anak kita harus senantiasa memuliakan kedua orang tua, baik itu ayah atau pun ibu, keduanya sangatlah penting dan berharga bagi kita. Jangan sampai kita melukai hati mereka hingga akhirnya mereka mengeluarkan kata-kata kasar, yang akan membuat diri kita terpuruk.

Ada sebuah kisah dari seorang anak yang berbakti kepada orang tua, salah satunya kepada ayahnya. Ia adalah seorang pekerja keras yang selalu bekerja dan memberikan sebagian rezeki kepada ayahnya. Hingga suatu ketika, doa ayahnya itu membawa keberkahan dalam hidupnya. Berikut ini kisahnya.

Syaikh Muhammad AL-mukhtar asy-Syinqithi menceritakan seorang yang lemah, menderita dalam keadaan yang sempit. Ia pergi mencari nafkah untuk ayahnya. Jika ia datang membawa upah kerjanya hari itu, maka ia letakkan uang itu di atas dipan. Hal itu ia lakukan karena malu untuk menyerahkannya secara langsung dengan tangannya.

Setiap kali ia meletakkan uang di hadapan ayahnya, maka ayahnya selalu berdoa kepada Allah, “Ya Allah, berikanlah rezeki al-Quran kepada anakku, dan jadikanlah ia sebagai ahli al-Quran.”

Demikianlah hingga berlangsung dua puluh tahun, ia sibuk dengan pekerjaannya. Hingga pada suatu hari, ketika ia pulang dari pekerjaannya, Allah berkehendak untuk mempertemukannya dengan seorang alim.

Orang alim tersebut adalah seorang tokoh yang pendapat-pendapatnya menjadi pegangan orang-orang di negerinya. Orang alim itu bertanya, “Apa kegiatanmu sekarang?”

Laki-laki itu menjawab, “Seperti yang Anda lihat, saya berusaha mencari nafkah.”

Ulama tersebut berkata lagi, “Bisakah Anda menyediakan waktu untuk saya sehari dalam seminggu?”

Laki-laki itu menjawab, “Ya, dengan senang hati.”

Maka laki-laki itu senantiasa pulang pergi kepada ulama itu untuk belajar. Tidak terasa, hingga tibalah hari di mana laki-laki itu harus melakukan tanya jawab pada sebuah sidang untuk mempertahankan risalah doktoralnya dalam bidang tafsir Al-Quran.

Ketika ia dipanggil untuk melakukan tanya jawab, dan ia telah duduk, maka tiba-tiba ulama yang menjadi guru besar sekaligus dosennya itu berdiri karena hormat dan memuliakan laki-laki itu, dikarenakan keilmuannya. Kemudian ia berkata kepada laki-laki itu, “Silahkan wahai Syaikh.” Padahal seperti kita ketahui, seorang dosen tidak biasa berdiri untuk memuliakan mahasiswanya.

Kemudian di hadapan khalayak umum, tiba-tiba guru besar itu berkata, “Ilmu dan pengetahuannya tentang
Kitabullah yang saya lihat dari laki-laki ini membawa saya untuk menumpahkan rasa hormat kepadanya dan mendorongku untuk memuliakannya.”

Ketika laki-laki itu telah dipersilahkan, maka ia pun duduk sambil bercucuran air mata. Maka, sang guru besar bertanya, “Mengapa Anda menangis, padahal kami hanya ingin memuliakan Anda?”

Laki-laki itu menjawab, “Saya teringat doa ayahanda, ‘Ya Allah, berikanlah rezeki al-Quran kepada anakku, dan jadikanlah ia sebagai ahli al-Quran’.”

Berkat doa ayahanda, Allah Ta’ala telah menghantarkan laki-laki ini meraih kedudukan yang mulia dan terhormat. []

Sumber: Kisah Haru yang Mengundang Tangis/Karya: Abu Muhammad Ibnu Shalih bin Hasbullah/Penerbit: Pustaka Ibnu Umar

Pesan Kasman Singodimedjo kepada Kaum Intelektual





kasman 
 Oleh: Andi Ryansyah, Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)

 “KAMI inginkan persatuan dan persaudaraan di kalangan umat Islam dan kerja sama yang mesra dengan seluruh rakyat Indonesia.” -Kasman Singodimedjo, Tokoh Jong Islamieten Bond (JIB)-

Mengapa saat ini terdapat jurang yang begitu dalam di antara kaum intelektual dan rakyat?

Kalau dulu ada Soekarno yang tak hanya bisa merekayasa jembatan -hasil pendidikannya di teknik sipil ITB-, tapi juga bisa berkorban merekayasa jembatan kemerdekaan, namun sekarang tampaknya kaum intelektual lebih sering berlindung di balik menara gading perguruan tinggi, atau mencari kejayaan sendiri tanpa peduli nasib rakyat yang telah memberinya subsidi. Lalu bagaimana caranya membangun jembatan di atas jurang yang dalam itu?

Keterasingan kaum intelektual dari rakyat ini rupanya dulu juga dirasakan oleh Kasman Singodimedjo, Tokoh Perkumpulan Intelektual Islam JIB. Melalui majalah bulanan JIB “Het Lich” No.7 Agustus 1925, ia menggambarkan banyak mulut kaum intelektual kala itu bisu dengan bahasanya. Banyak yang tidak paham dan pandai berbicara dengan bahasa sendiri. Mereka tidak sungguh-sungguh mempelajari bahasanya. Betapa banyak dari mereka yang berasal dari suku sunda, tapi tidak pandai bahasa sunda yang sopan. Begitu pula yang berasal dari suku Melayu dan Jawa.

“Bahasa yang digunakan perkumpulan Jong Java bukanlah bahasa Jawa, Sunda, atau Melayu karena tidak semua anggotanya bisa. Itu pula yang membuat JIB terpaksa menjadikan Bahasa Belanda sebagai bahasa persatuan dalam organisasinya.”

Lebih dari soal bahasa, ia mengungkap kehidupan kaum intelektual seperti orang Eropa.“Kita tidak mengenal kehidupan kerja keras dan berat seperti yang dialami oleh para petani di sawah dan ladang. Kita tidak mengenal membanting tulang, mengangkat, dan memikul. Malahan kita terbius memandang rendah pekerjaan mereka yang serba kekurangan itu. Dan betapa jauh berbedanya kehidupan kita daripada mereka itu, dalam hal pakaian, perumahan, dan kesenangan.”

Pesta-pesta kelahiran, pernikahan, dan lain-lain, lanjutnya, benar-benar telah menjauhkan mereka dari rakyat. Mereka telah membiasakan tingkah laku orang Eropa. Apa saja di-Eropa-kan: pakaian pengantin, kamar pengantin, dan lain-lain.

Dan yang lebih parah lagi, ungkapnya, pada pesta-pesta itu mereka layani orang Eropa secara istimewa. Mereka adakan kebiasaan malam-malam khusus untuk melayani kenalan dan teman-teman Eropa. Dari situ, mereka merasa terhormat atas perhatian yang orang Eropa berikan dan menganggap remeh tamu sebangsa.

“Hampir-hampir kita tinggalkan sama sekali adat pusaka lama kita, yang mengandung pengertian bahwa pesta-pesta rumah yang diadakan oleh orang-orang yang berada, adalah bertujuan untuk menyenangkan dan menyuguhi jiran sekampung. Selamatan-selamatan yang diadakan dengan Kiayi-Kiayi dan santri-santri sebagai tamu terhormat telah tidak lagi menjadi kebiasaan bagi orang-orang kita yang berada.”

Seperti halnya pesta-pesta tadi, lanjutnya, pergaulan kaum intelektual pun seperti orang Eropa. Mereka hanya ingin berteman dengan orang Eropa atau orang Indonesia yang sudah kebarat-baratan, khususnya yang bisa berbahasa Belanda.

Ia merasakan kenyataan yang pahit dan menyedihkan menyaksikan kaum intelektual buta sama sekali terhadap hati nurani rakyat. Mereka tidak mengenal perasaan yang dimiliki rakyat. Pergaulan, pendidikan, dan hubungan mereka dengan orang Barat, khususnya dengan orang-orang Belanda, membuat mereka kurang bisa mengerti curahan perasaan rakyat yang jarang sekali atau bahkan mungkin tidak pernah mereka pedulikan.

Mereka menganggap segala sesuatunya yang bukan contoh dari orang Eropa adalah rendah, terbelakang, dan tidak sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman. Sampai-sampai apa yang paling baik dipunyai bangsa kita. “Pokoknya semua yang tidak sesuai dengan apa yang dibawakan oleh dunia Barat yang telah menguasai negara kita ini, sudah kita anggap rendah pula dan kita rasakan sebagai sesuatu yang salah karena tidak sesuai dengan contoh yang kita tiru dari manusia-manusia Barat yang rakus tak pernah kenyang itu.”  

Menurutnya, kesalahan mereka karena terlalu meningkatkan diri pada pengetahuan sekolah dan meninggalkan rakyat jau di belakangnya. Kejiwaan itu menyebabkan mereka selaku murid orang Barat tak sedikit pun dapat mengakui atau menghargai sesuatu yang berasal dari kepribadian bangsa sendiri. Sehingga seolah-olah rakyat itu harus belajar dari mereka, bahkan mereka sampai menyangka- nyangka seolah-olah rakyat tidak mempunyai keinginan untuk merdeka ataupun tidak berhasrat sendiri untuk berkembang. Akibatnya, mereka berpendapat bahwa mereka harus mengadakan perubahan pada rakyat.

“Betapa salahnya persangkaan kita itu. Betapa justru lebih dulu dari lingkungan kaum intelektual, di kalangan rakyat telah tercetus keinginan untuk merdeka dan hasrat kepada kemajuan, yang disusul dengan tindakan dan perbuatan.Tampak adanya inisiatif yang murni dan daya cipta yang enerjik yang menunjukkan keinginan akan kemajuan, dan perasaan persaudaraan terutama sekali harus dicari pada rakyat kita yang beragama Islam dan telah menyatukan diri dan berorganisasi dengan memakai Islam sebagai dasar.”

Ia menyebutkan banyak sekolah-sekolah yang sudah didirikan oleh Sarekat Islam, Muhammadiyah, Perserikatan Ulama dan lain-lain seperti Sarikat Usaha dan Sumatera Tawalib. Sedangkan perkumpulan-perkumpulan lain mencontoh pendidikan sekolah-sekolah pemerintah, yang umumnya dipandang tidak tepat dari segi kebangsaan. Di saat sebagian orang-orang Indonesia yang kompeten dan orang-orang Eropa sibuk mengadakan teori dan percobaan-percobaan, organisasi-organisasi Islam sudah lebih dahulu menyusun dan mempraktikkan pendidikan nasional untuk bangsa kita. Ia menilai itu karena organisasi-organisasi Islam menggunakan dasar dan sistem Islam sehingga mengarahkan mereka pada usaha menuju kesatuan dalam pendidikan, yaitu usaha yang membayangkan keberhasilan.

“Dalam usaha membangun pendidikan itu, mereka itu tidak mengambang di awang-awang, oleh karena mereka dapat melanjutkan usaha atas dasar-dasar yang telah ada dalam sejarah kebangsaan sebelum ini, dengan memperhitungkan pula perkembangan ilmu pengetahuan dan tuntutan zaman modern. Dalam hal ini, mereka tidak usah meraba-raba lagi. Oleh karena negara -negara Islam yang telah mendahului kita dalam perkembangan kemajuan, terutama misalnya Mesir, Persia, dan India, telah memberikan contoh yang bermanfaat.”

Ia lalu mengungkap organisasi-organisasi Islam di negeri ini dalam usaha membangun pendidikan, telah mendirikan beberapa Normall School dan Kweek School -sekolah- sekolah pencetak guru- yang sangat dibutuhkan bagi pembangunan di masa datang.

Kongres-kongres Islam yang berturut-turut diadakan, tuturnya, menunjukkan adanya perkembangan yang jelas ke arah persatuan. Centraal Comitee dari Kongres Al-Islam bahkan menganggap tiba waktunya untuk menjadikan soal kesatuan sistem pendidikan sebagai program Kongres. Dan Sarekat Islam telah pula mendirikan sekolah pendidikan guru-guru yang langsung dipimpinnya.

Tidak hanya di bidang pendidikan, tambahnya, tapi juga berkembang inisiatif dan semangat kerja pada organisasi-organisasi Islam di bidang ekonomi dan sosial. Dengen pesat mereka mengembangkan perusahaan-perusahaan dan koperasi. Ada klinik-klinik di Jogja dan Surabaya yang didirikan oleh Muhammadiyah serta panti asuhan orang-orang miskin di Yogyakarta yang dibangun oleh majelis PKO Muhammadiyah.

Ia mengungkapkan, “Kita kan tercengang melihat betapa luasnya aktivitas yang sudah mereka lakukan di seluruh Indonesia, di Tapanuli, di Bali, di Minahasa, dan lain-lain. Dengan tidak mengemukakan daerah-daerah yang sepenuhnya Islam saja, dalam mencapai kemajuan melalui dakwah Islam dan usaha-usaha mendorong umat Islam, maka nyatalah umat Islam telah merebut tempat yang berdiri di atas kaki sendiri di lapangan ekonomi. Ini semua seharusnya menjadi petunjuk bagi kita untuk tidak tertipu oleh propaganda yang saat-saat sekarang kian ditingkatkan, seolah-olah Islam sedikit sekali dapat tempat dalam hati nurani rakyat. Bahkan fakta bahwa juga ada golongan-golongan rakyat yang bukan muslim, tidak boleh mendorong kita untuk meremehkan golongan mayoritas mutlak yang beragama Islam, yang justru memiliki energi dan potensi yang amat besar untuk berdiri di atas kaki sendiri. Tanpa sedikit pun rasa permusuhan terhadap golongan-golongan non-Islam, yang bagaimana pun juga tentu harus terlepas dari pimpinan kita, maka kita sebagai golongan Islam harus memusatkan pikiran kita terhadap rakyat kita yang beragama Islam, yang jumlahnya tidak kurang dari 80% dari bangsa Indonesia kita ini.”  

Maka untuk membangun jembatan di antara kaum intelektual dan rakyat, Kasman Singodimedjo berpesan kepada kaum intelektual Islam untuk, “tidak lagi menjadi orang asing terhadap Islam, bahkan keterasingan itu harus berganti jadi kesadaran bahwa kita justru bisa menjadi pemimpin dan penganjur Islam bagi rakyat itu. Sehingga kita bisa mendapat tempat di hati dan jiwa rakyat. Dengan demikian kita dapat membawa kesatuan jiwa dan memanfaatkan kelebihan pendidikan yang kita miliki bagi rakyat untuk membawa mereka pada persatuan nasional.”

Minggu, 28 Agustus 2016

Renungan dan Perjuangan dari Bilik Tahanan


Oleh: Ridwan H.d., iwan_elian@yahoo.com>


kasman

DI sudut ruang tahanan Kebayoran Baru, Jakarta pada November 1963, Kasman Singodimedjo tak bisa membiarkan dirinya menganggur. Aktivitas perjuangan pergerakan yang ia lakukan sejak muda terhenti sementara karena menjadi seorang tahanan.

Dengan modal sebuah pulpen dan beberapa lembar kertas ia mencoba menyibukan dengan menulis, “Renungan” menjadi kata pertama yang ia tuliskan.

Sejak Partai Masyumi di bubarkan Presiden Soekarno pada 17 Agustus 1960, Kasman telah lama merenung. Ia bertafaqur dan memikirkan kembali apa-apa saja yang telah ia lakukan selama ini.

“Apa yang saya pikirkan itu?” tulis pertanyaan retorik ke dalam tulisan kalimat selanjutnya. “Yang saya pikirkan ialah: Apakah perjuangan kaum muslimin yang dulu bergabung di dalam Masyumi yang jumlahnnya jutaan itu kini telah selesai? Selesai karena Masyumi dibubarkan? Selesai karena tidak disukai oleh Presiden RI Soekarno, dkk, ?”

Deretan pertanyaan-pertanyaan retorik itu ia tuliskan di awal-awal catatan renungannya. Ada asa yang ia ingin tunjukkan kepada pembaca tulisannya kelak, bahwa perjuangan tak boleh terhentik ketika sarana itu tak ada.

“Tidak!” jawabnya sendiri melanjutkan pertanyaan retoriknya.“Tidak ada kamus Islam yang menyatakan bahwa si Muslim harus berhenti dari perjuangannya selama ia masih hidup, karena hidup itu berjuang, beribadat, dan beramal!” lanjutnya.

Sejak Masyumi dinyatakan bubar oleh pemerintah, Indonesia memasuki masa krusial bagi para anggotanya. Demokrasi Terpimpin menjadi ruang gerak Soekarno untuk bebas mengendalikan negara secara represif yang didukung kekuatan komunis yang berada di belakang Sang Presiden. Selama ini, komunis-lah yang menjadi musuh utama Masyumi selama periode Demokrasi Liberal tahun 1950an.

Masa-masa represif itu membuat semua pimpinan Masyumi harus mencicipi bui atas tuduhan yang beragam. Kasman, yang juga menjadi bagian dari pimpinan Masyumi ikut mendapatkan sepetak ruang penjara.

Tuduhannya adalah turut campur dalam perkumpulan yang ingin melawan negara. Seperti yang dituliskan Kasman dalam catatannya ini, sejak saat itu ia mulai merenung. Ia selalu merenung terhadap perjuangannya.

“Tapi segera aku ingat bahwa hidup itu bukan merenung semacam itu, bukan pula menganggur, pun bukan mengobrol yang sia-sia.” Kasman terus bercerita bagaimana ia bisa mendapatkan alat tulis dari polisi yang menjaganya. Ia sedang gelisah. Ia ingin menuangkan seluruh gagasan dan isi hatinya. “Lebih baik aku menulis dari pada merenung tak menentu.” lanjutnya. Seluruh tulisannya dalam tahanan ini yang kemudian dibukukan dengan judul Renungan dari Tahanan.

Kalimat-kalimat persuasif menghias di lembar-lembar pertama. Ia ingin mengajak umat Islam terus berjuang meskipun kendaraan perjuangan itu telah mati. Masyumi, sebagai kendaraan politik umat Islam, dibubarkannya bukan menjadi alasan untuk berhenti berjuang. Bagi Kasman, meski alat perjuangan itu mati, seorang muslim harus mencari alat lain yang dapat dipergunakan untuk berjuang terus yang sesuai dengan kondisi dan situasi yang ada. Kalimat lantang inilah keluar dari pikirannya, “Seorang Muslim harus berjuang terus. Hukumnya wajib. Dia harus berjuang terus selama hidupnya. Hidup itu adalah perjuangan!”

Perjalanan Berjuang Kasman

Kalimat lantang itu bukan sekedar kata-kata. Ia memang senang berkata dan berbicara. Tapi, juga diikutinya dengan banyak kerja. Seperti kata Mohammad Natsir yang ikut menulis tentang Kasman di buku Hidup itu Perjuangan; Kasman Singodimedjo 75 Tahun, “Ia tidak membiasakan diri hanya menganjurkan sesuatu kepada orang lain, tetapi didahuluinya melaksanakan apa yang ia anjurkan itu.”

Dalam catatan biografinya di buku tersebut, ia sudah “Hidup Berjuang” dengan menjadi anggota Jong Islamiten Bond (JIB – Perkumpulan Pemuda Islam) sejak remaja. Jabatan Ketua JIB disandangnya tahun 1930 – 1935. JIB didirikan tahun 1925 dengan salah satu tujuannya sebagai tempat bagi para pelajar dan mahasiswa didikan pemerintah kolonial saat itu untuk bisa mempelajari Islam.

Dalam pidatonya setelah diangkat menjadi Ketua ia berharap kepada generasi muda intelektual agar tidak melepaskan identitas dirinya sebagai pribumi. Ia mengkritik generasi muda terdidik saat itu yang suka bergaya kebarat-baratan. Generasi ini bagi Kasman, karena telah terdidik barat, menjadi asing dengan kalangan bawah; yaitu rakyat jelata. Ia ingin generasi muda intelektual “Kembali Kepada Rakyat” dan tidak meninggalkan identitas mereka sebagai sebuah bangsa yang hidup di Nusantara. Terutama identitas Islam yang telah lama dianut. “Kita pemuda-pemuda Islam yang tergolong dalam golongan intelektual Islam haruslah tidak lagi menjadi orang asing terhadap Islam. Bahkan keterasingan itu harus berganti menjadi kesadaran bahwa kita justru bisa menjadi pemimpin dan penganjur Islam bagi rakyat.” ucap Kasman dalam penggalan pidatonya.

Yang paling giat dilakukan Kasman sejak muda adalah kepanduan. Sosok tangkas dengan fisik prima yang dimilikinya mendukung apa yang menjadi kesenangannya. Pernah aktif di beberapa kegiatan kepanduan milik pemerintah Hindia. Keahliannya yang didapat di kepanduan tersebut ia manfaatkan untuk membangun organisasi kepanduan di bawah JIB. Tahun 1926 ia bersama sahabatnya Mohamad Roem mendirikan Nationaal Indonesische Padvinderij (Natipji).

KEAHLIANNYA dalam mengajar kepanduan membuat Syeikh Ahmad Syurkati meminta Kasman mengajar kepanduan di sekolah Al Irsyad dengan membuka cabang Natipji. Ia mengajar satu minggu tiga kali saat petang. Secara bersamaan Kasman juga mendapat ajaran agama langsung dari sang Syeikh. Syeikh Ahmad Syurkati sendiri sangat kagum kepada Kasman karena kepribadiannya yang cerdas, berjiwa besar dan berani.

Sifat-sifat yang sulit ditemukan di kalangan pemuda saat itu. Kedekatan Kasman dengan sang syeikh tidak sekedar guru dan murid tapi sudah seperti orang tua dan anak. Setiap Sang Syeikh dikunjungi Kasman, sering terlontar sambutan yang akrab, “Ahlan wa syahlan fil assad!” yang berarti “Selamat datang wahai singa!”

Selesai memimpin JIB tahun 1935, kesibukan “berjuang” ia lanjutkan di kepengurusan Muhammadiyah cabang Jakarta. Ia juga aktif mengajar di AMS, Mu’allimien, Mu’allimat, MULO, dan HIK yang semua sekolah tersebut bernaung di bawah Muhammadiyah. Ia diangkat pula menjadi ketua Muhammadiyah cabang Jakarta.

Masuk masa pendudukan Jepang, Kasman terdaftar sebagai anggota Pembela Tanah Air (PETA) dengan jabatan Daidancho (komandan setingkat batalyon). Daidancho sebenarnya banyak di isi dari kalangan ulama atau para kiyai dan ustad. Tetapi, ketika melihat latar belakang Kasman, pihak Jepang melihatnya sebagai sosok yang memenuhi syarat. Sebenarnya Kasman ragu untuk bergabung. Ia mencari akal agar tidak diterima, “Selama beberap hari saya sengaja mengurangi tidur, sehingga badan saya tampak lesu, muka pucat dan mata menjadi kemerah-kemerahan. Saya juga berusaha agar air kencing saya menjadi kuning.” kenangnya. Hasil pemeriksaan kesehatan justru Kasman dinyatakan lulus.

Sepulang tes, ia menjalankan sholat istikarah untuk meminta petunjuk apa yang sebaiknnya dilakukan. “Sesudah sholat istikharah itu saya seperti diberi petunjuk oleh Allah, bahwa ada hikmahnya saya masuk PETA itu. Saya melihat dari segi kerangka perjuangan saya bangsa Indonesia untuk mencapai kemerdekaan, jabatan dan kedudukan saya dalam PETA akan saya manfaatkan sebaik-baiknya,” katanya.

Diantara para Daindancho-daindancho yang lain, Kasman bisa dikatakan sosok yang sempurna. Ia bukan hanya sosok agamawan dan tokoh ormas Islam, tetapi juga memiliki gelar pendidikan yang cukup tinggi, yaitu Meester of Ritchen (Mr.) atau Sarjana Hukum, sekaligus politikus, serta terlatih dalam hal kepanduan. Dialah yang paling dihormati oleh para perwira-perwira PETA yang lain dan dianggap sebagai pimpinan para Daidancho. Jenderal (purn) Abdul Haris Nasution menyebutkan dalam bukunya Sekitar Perang Kemerdekaan bahwa, “hanya dengan pemimpin Soekarno-Hatta-Kasman rakyat dapat digerakan secara massal.” Dalam sejarah masa-masa proklamasi, Kasman cukup memberikan pengaruh dalam keamaan ibu kota Jakarta dan menggerakan para pemudanya.

Ketika Badan Keamanan Rakyat (BKR) dibentuk setelah proklamasi, Kasman menjadi pemimpin tertinginya. BKR adalah gabungan pasukan milisi bersenjata yang terdiri dari pasukan Hizbullah, mantan anggota PETA dan mantan KNIL. Awalnya, badan ini dipimpin oleh Otto Iskandar Dinata, tetapi beberapa hari setelah proklamasi keberadaannya hilang (menurut catatan lain tewas), Kasman yang otomatis naik. Di saat memimpin BKR ini, tugas terberat Kasman adalah menghimpun senjata-senjata yang direbut dari Jepang dan menyusun organisasi militer di seluruh wilayah Indonesia. Semuanya ia kerjakan dari nol. BKR merupakan cikal bakal terbentuknya TKR, lalu menjadi TRI, hingga akirnya TNI.

Keterlibatannya di militer hanya sebentar. Berdirinya Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada 29 Agustus 1945 memilih Kasman menjadi ketuanya. Komite ini yang menjadi cikal bakal lahirnya DPR/MPR. Kasman merintis lembaga pembantu kebijakan Presiden ini dari berdirinya hingga membentuk cabang ke seluruh daerah.

Hanya beberapa bulan memimpin KNIP, kegaduhan politik membuatnya mundur dari Ketua. Tak lama kemudian, Presiden Soekarno mengangkatnya sebagai Jaksa Agung pada 6 November 1945. Lagi-lagi Kasman harus merintis lembaga negara yang baru berdiri. Pekerjaannya kali ini lebih banyak soal penyusunan administrtif. Pendidikannya di bidang hukum sangat mendukung dengan tugas ini. Selanjutnya, ia mendapat jabatan sebagai Mentri Muda Kehakiman dan Mahkamah tinggi pada kementrian pertahanan. Jabatan mentri ini adalah jabatan terakhirnya sebagai pejabat di pemerintahan.

Ketika Masyumi didirikan pada 7 November 1945, Kasman langsung mendapat kedudukan sebagai anggota Majelis Syuro dengan jabatan Ketua Muda II. Ia mulai aktif sepenuhnya mengurusi Masyumi setelah tidak lagi menjadi pejabat pemerintah. Terutama setelah peristiwa Konfrensi Meja Bundar (KMB), atau mulai terbentuk kembali keadulatan Republik Indonesia tahun 1950.

Tak hanya Masyumi, Kasman juga masih aktif sebagai kader Muhammadiyah. “Kegiatannya sebenarnya bersifat ganda. Dia kerjakan tugas-tugas pergerakan Muhammadiyah. Di samping itu dia juga laksanakan perjuangan politik dari Partai Masyumi.” kata tim penulis buku Hidup itu Berjuang Kasman Singodimedjo 75 tahun.

Setelah pemilu tahun 1955 kasman terpilih mejadi anggota Majelis Konstituante, yaitu majelis yang membahas undang-undang dasar baru bagi Republik. Di Majelis inilah Kasman bersama kawan-kawan seperjuangan di Masyumi memperjuangan dasar negara Republik Indonesia berasaskan Islam.

Yang menarik selama masa-masa kampanye menjelang pemilu tahun 1955, Kasman pernah mendatangi Maluku. Banyak yang menganggap bahwa wilayah Maluku dihuni oleh masyarakat beragama Nasrani. Di sana ia mendapat kasus gara-gara berpidato yang isinya mengkritisi akidah Nasrani. Para pejabat pemerintah Maluku yang sebagian besar Nasrani geram lalu mengkasuskan Kasman. Tetapi itu tak membuatnya di penjara dan tak juga membuat karir politiknya hanyut. Justru ketika pemilu 1955 usai, Masyumi menjadi pemenang di Maluku. “Maka kemenangan Masyumi dalam pemilu 1955 itu, yang didukung oleh mayoritas umat Islam Maluku, merubah anggapan sejarah yang keliru selama ini,” kata M. Amin Ely teman seperjuangan yang ikut menulis tentang Kasman.

Perjuangan menegakan Islam sebagai dasar negara melalui konstitusi pun kandas setelah Presiden mengeluarkan Penetapan Presiden No. 7/1959 tentang pembubaran partai-partai terlarang. Termasuk Masyumi di dalamnya. Semua itu terjadi akibat berbagai kegaduhan politik dan sikap Presiden yang semakin otoriter. Diputuskannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan Indonesia memasuki masa Demokrasi Terpimpin membuat pemerintah semakin represif. Keterlibatan beberapa petinggi Masyumi dalam perjuangan PRRI/Permesta menambah sikap represif presiden kepada orang-orang Masyumi. Meski tak terlibat PRRI/Permesta, Kasman mendapat tuduhan terlibat perkumpulan yang berencana ingin menjatuhkan Presiden. Ia ditahan sejak 9 November 1963. Ia bebas setalah Presiden Soekarno jatuh tahun 1966. Tuduhannya juga tak pernah terbukti.

Cita-cita dalam Renungan

SEJAK ditahan, segala aktivitas perjuangannya terhenti. Seperti yang dituliskannya dibukunya, ia memanfaatkan waktu untuk merenung. “Aku merenung karena tidak biasa menganggur, biasaku sehari-hari kerja keras, terus menerus kerja keras.” tulisnya. Maka, menulis menjadi ruang ekspresi Kasman untuk menyalurkan apa-apa yang dipikirkannya.

Pada bab-bab selanjutnya di Renungan dari Tahanan, Kasman banyak berbicara tentang kepribadian seorang Muslim, revolusi, demokrasi, kepemimpinan Islam, negara, dan alasan-alasan yang menjadikan Indonesia bisa berdasarkan Islam, serta banyak mengulas mengenai Pancasila.

“Pancasila,” tulis Kasman memulai bab III, ”berisikan lima sila yang kesemuanya itu terdapat juga pelajaran di dalam Islam.” Kasman menjelaskan jika Pancasila tidak bertentangan dengan Islam. Tetapi, Pancasila juga tidak lebih baik dari Islam. Ia mengajak umat Islam agar menerima Pancasila, dengan anggapan bahwa pancasila tidak lebih tinggi dari Islam. Islam datangnya dari Allah, sedangkan Pancasila hanya buatan manusia. Jangan sampai umat Islam lebih meninggikan pancasila dari Islam. “Bahwa Islam mempunyai kelebihan dari Pancasila, maka hal itu adalah baik, pun baik sekali untuk / bagi Pancasila itu sendiri dan pasti tidak dilarang oleh Pancasila, bahkan menguntungkan Pancasila, karena Pancasila akan dapat diperkuat dan diperkaya oleh Islam.” lanjutnya.

Dipilihnya pancasila dari pada Islam sebagai dasar negara juga diakui Kasman sebagai ujian dari Allah. Ia merenungi Surat Ar-Ra’d ayat 11 untuk menemukan hikmah dibalik ujian ini. Ia melihat, sebagian Umat Islam lebih banyak menggerutu dalam persoalan dasar negara. Dalam catatan renungannya itu kalimat persuasif ia keluarkan lagi untuk mengajak umat Islam terus berjuang meraih cita-citanya, “Umat Islam harus berjuang, berjuang untuk merubah nasibnya sendiri!” kata Kasman.

Meski pancasila tidak bertentangan, tapi bagi Kasman umat Islam memiliki kewajiban memperjuangankan yang lebih sempurna sebagai amalannya. “Untuk mencapai yang lebih sempurna dari Pancasila, hal itu adalah perjuangan selanjutnya, pun juga tidak dilarang oleh pancasila itu sendiri. Dan perjuangan Islam bagi umat Islam tidak hanya merupakan hak, tetapi lebih dari pada itu, yakni merupakan kewajiban untuk dilaksanakan/diamalkan. Islam adalah agama amalan.” lanjut tulisnya.

Kasman mempunyai pengalaman pahit ketika pernah terlibat dalam urusan dasar negara. Masih sebagai Daidancho PETA pada 18 Agustus 1945, Kasman diminta hadir oleh Soekarno pada rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Ia diminta menjadi anggota tambahan untuk pembahasan soal penetapan dasar negara, penetapan presiden, dan lainnya. Ketika memasuki penetapan dasar negara, ada yang mengusulkan untuk merubah tujuh kata dari lima sila yang telah ditetapkan pada keputusan Piagam Jakarta menjadi “Ketuhanan yang Maha Esa”. Usulan perubahan ini atas dasar permintaan kaum minoritas dari wilayah timur. Jika tidak ditanggapi mereka ingin memisakhan diri.

Perdebatan terjadi. Pihak muslim menolak usulan ini, terutama Ki Bagus Hadikusuma yang saat itu adalah Ketua PP Muhammadiyah. Saat itu situasi benar-benar sedang darurat. Undang-undang harus segera disahkan sebelum tentara sekutu tiba di Indonesia yang baru berumur sehari. Atas desakan itu, Kasman mencoba mengerti situasi yang terjadi. Tapi Ki Bagus Hadikusuma tetap ngotot ingin mempertahankan kalimat “Ketuhanan dengan Berkewajiban Menjalankan Syariat Islam Bagi Pemeluknya”.

Soekarno meminta Kasman melobi Ki Bagus agar memahami kondisi darurat yang sedang terjadi. Kasman juga dijanjikan oleh Soekarno akan membahas lagi soal dasar negara ini di MPR/DPR yang akan dibentuk 6 bulan kemudian. Ki Bagus akhirnya luluh menerima saran Kasman. Tapi kenyataannya, waktu 6 bulan cukup sulit bagi Indonesia untuk membahas persoalan ini kembali, mengingat harus berhadapan dengan Belanda yang ingin berkuasa kembali.

Kasman tak begitu menyesali hilangnya tujuh kata dalam dasar negara. Sesuai dengan pandangannya, Pancasila tidak bertentangan dengan Islam. Makna, “Ketuhanan yang Maha Esa” lebih dekat dengan makna tauhid dalam Islam. Dalam kondisi negara saat itu, ia dan kawan-kawan di Masyumi tak mempersoalkan. Kesempatan untuk ‘mempersoalkan’ kembali mendapat waktunya setelah pemilu 1955 dengan terbentuknya Majelis Konstituante. Majelis ini bertujuan membahas kembali dasar negara. Kasman menjadi salah satu orang-orang Masyumi yang vokal ingin menerapkan Republik Indonesia berdasarkan Islam.

Dalam pidato Kasman di Majelis Kontituante pada 13 November 1957, ia menjelaskan panjang lebar alasan-alasan mendukung Islam sebagai dasar negara. Alasan-alasan tersebut dibagi dua, yaitu alasan universal dan alasan dialektis. 

Alasan universal dimaksudkan sebagai pengakuan terhadap kedaulatan hukum Tuhan yang dimanifestasikan dalam ajaran agama. 

Sedangkan alasan dielaktis adalah pengakuan bahwa agama Islam di Indonesia secara kuantitatif dan kualitatif adalah agama yang berpengaruh di setiap segi kehidupan. “Oleh sebab itu penggabungan antara alasan-alasan universal dan alasan-alasan dialektis Indonesia membawalah kita kepada kesimpulan bahwa dasar dari Republik Indonesia seharusnya Islam.” ucap Kasman.

Tapi, cita-cita itu harus terhenti sejenak. Perjuangannya kini cukup dengan menulis sebuah renungannya di dalam tahanan. Berharap, ada generasi yang akan membaca dan melanjutkan perjuangan. Satu pesan yang ia tuliskan, “Oleh sebab itu Muslimin yang masih hidup sekarang ini harus/wajib meneruskan perjuangan Islam itu, dengan bertitik tolak kepada keadan (situasi) dan fakta-fakta yang kini ada, dengan gaya/semangat baru, setidak-tidaknya “to make the best of it” menuju kepada Baldatun tayibatun wa Rabbun Gafur, yakni suatu negara yang baik yang diampuni dan diridhai oleh Allah : adil, makmur, aman, sentosa, tertib teratur, bahagia, damai. Dan apabila kitapun belum juga mencapai tujuan tersebut, maka setiap muslim generasi muda yang mendatang wajib hukumnya meneruskan perjuangan kita itu.”


Kisah Kasman Singodimejo dan Terhapusnya Piagam Jakarta

Materi Pengayaan mapel; IPS Sejarah dan PKn


“…Negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasarkan kepada:Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya…” ~Penggalan isi Mukadimah UUD 1945 yang diantaranya berisi Piagam Jakarta~

Oleh: Artawijaya

Kalau ada tokoh umat Islam yang paling bersedih dengan kisah dihapuskannya Piagam Jakarta pada 18 Agustus 1945, maka Kasman Singodimedjo-lah orangnya. Betapa tidak, Kasman merasa terpukul dan bersalah, karena dirinyalah yang melobi Ki Bagus Hadikusumo, pimpinan Muhammadiyah saat itu, agar menerima dihapuskannya “tujuh kata dalam Piagam Jakarta.”

Ki Bagus adalah satu-satunya tokoh yang saat itu begitu teguh pendirian agar klausul tentang “kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dalam Piagam Jakarta itu tidak dihapuskan. Lobi yang berlangsung sengit tak juga meluluhkan pendirian Ki Bagus Hadikusumo. Lobi-lobi dan bujukan dari utusan Soekarno Teuku Muhammad Hassan dan tokoh sekaliber KH A Wahid Hasyim pun tak mampu mengubah pendiriannya. Di sinilah peran Kasman Singodimejo yang sesama orang Muhammadiyah, melakukan pendekatan secara personal pada Ki Bagus.

Dalam memoirnya yang berjudul Hidup Adalah Perjuangan, Kasman menceritakan aksinya melobi Ki Bagus. Dengan bahasa Jawa yang sangat halus, ia mengatakan kepada Ki Bagus:

Kiai, kemarin proklamasi kemerdekaan Indonesia telah terjadi. Hari ini harus cepat-cepat ditetapkan Undang-Undang Dasar sebagai dasar kita bernegara, dan masih harus ditetapkan siapa presiden dan lain sebagainya untuk melancarkan perputaran roda pemerintahan. Kalau bangsa Indonesia, terutama pemimpin-pemimpinnya cekcok, lantas bagaimana?! Kiai, sekarang ini bangsa Indonesia kejepit di antara yang tongol-tongol dan yang tingil-tingil. Yang tongol-tongol  ialah balatentara Dai Nippon yang masih berada di bumi Indonesia dengan persenjataan modern. Adapun yang tingil-tingil (yang mau masuk kembali ke Indonesia, pen) adalah sekutu termasuk di dalamnya Belanda, yaitu dengan persenjataan yang modern juga. Jika kita cekcok, kita pasti akan konyol. Kiai, di dalam rancangan Undang-undang Dasar yang sedang kita musyawarahkan hari ini tercantum satu pasal yang menyatakan bahwa 6 bulan lagi nanti kita dapat adakan Majelis Permusyawaratan Rakyat, justru untuk membuat Undang-Undang Dasar yang sempurna. Rancangan yang sekarang ini adalah  rancangan Undang-undang Dasar darurat. Belum ada waktu untuk membikin yang sempurna atau memuaskan semua pihak, apalagi di dalam kondisi kejepit! Kiai, tidakkah bijaksanaan jikalau kita sekarang sebagai umat Islam yang mayoritas ini sementara mengalah, yakni menghapus tujuh kata termaksud demi kemenangan cita-cita kita bersama, yakni tercapainya Indonesia Merdeka sebagai negara yang berdaulat, adil, makmur, tenang tenteram, diridhai Allah SWT.
Kepada Ki Bagus, Kasman juga menjelaskan perubahan yang diusulkan oleh Hatta, bahwa kata ”Ketuhanan” ditambah dengan ”Ketuhanan Yang Maha Esa.”  KH A Wahid Hasyim dan Teuku Muhammad Hassan yang ikut dalam lobi itu menganggap Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Allah SWT, bukan yang lainnya.Kasman menjelaskan, Ketuhanan Yang Maha Esa menentukan arti Ketuhanan dalam Pancasila.”Sekali lagi bukan Ketuhanan sembarang Ketuhanan, tetapi yang dikenal Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa,”kata Kasman meyakinkan Ki Bagus.

Kasman juga menjelaskan kepada Ki Bagus soal janji Soekarno yang mengatakan bahwa enam bulan lagi akan ada sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk membuat undang-undang yang sempurna. Di sanalah nanti kelompok Islam bisa kembali mengajukan gagasan-gagasan Islam.

Soekarno ketika itu mengatakan, bahwa perubahan ini adalah Undang-undang Dasar sementara, Undang-undang Dasar kilat. “Nanti kalau kita telah bernegara di dalam suasana yang lebih tenteram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dapat membuat Undang-Undang yang lebih lengkap dan sempurna,” kata Soekarno.

Para tokoh Islam saat itu menganggap ucapan Soekarno sebagai “janji” yang harus ditagih. Apalagi, ucapan Soekarno itulah setidaknya yang membuat Ki Bagus merasa masih ada harapan untuk memasukan ajaran-ajaran Islam dalam Undang-undang yang lengkap dan tetap nantinya. ”Hanya dengan kepastian dan jaminan 6 bulan lagi sesudah Agustus 1945 itu akan dibentuk sebuah Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Majelis pembuat Undang-undang Dasar Negara guna memasukkan materi Islam itu ke dalam undang-undang dasar yang tetap, maka bersabarlah Ki Bagus Hadikusumo itu untuk menanti,” kenang Kasman dalam memoirnya.

Selain itu soal jaminan di atas, tokoh-tokoh Islam juga dihadapkan pada suatu situasi terjepit dan sulit, dimana kalangan sekular selalu mengatakan bahwa kemerdekaan yang sudah diproklamasikan membutuhkan persatuan yang kokoh. Inilah yang disebut Kasman dalam memoirnya bahwa kalangan sekular pintar memanfaatkan momen psikologis, dimana bangsa ini butuh persatuan, sehingga segala yang berpotensi memicu perpecahan harus diminimalisir. Dan yang perlu dicatat, tokoh-tokoh Islam yang dari awal menginginkan negeri ini merdeka dan bersatu, saat itu begitu legowo untuk tidak memaksakan kehendaknya mempertahankan tujuh kata tersebut, meskipun begitu pahit rasanya hingga saat ini. Sementara kalangan sekular-Kristen yang minoritas selalu membuat move politik yang memaksakan kehendak mereka.

Walhasil, dalam hitungan kurang dari 15 menit seperti diceritakan oleh Hatta, tujuh kata dalam Piagam Jakarta dihapus. Setelah itu Hatta masuk ke dalam ruang sidang Panitia Persiapan kemerdekaan Indonesia (PPKI) dan membacakan empat perubahan dari hasil lobi tersebut.

Seperti diceritakan di atas, karena lobi personal ala Kasman Singodimejo yang diminta untuk melunakkan hati Ki Bagus Hadikusumo, Ketua Umum PP Muhammadiyah saat itu yang tetapkeukeuh dengan tujuh kata dalam Piagam Jakarta, diktum soal kewajiban menjalankan syariat Islam dihapuskan.

Kasman, seperti ditulis dalam memoirnya mengatakan, sikap itu diambil karena tokoh-tokoh saat itu tidak mau negeri yang baru saja diproklamirkan kemerdekaannya pecah karena perdebatan soal tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Apalagi, ada konsesi, tujuh kata itu diganti dengan ”Ketuhanan Yang Maha Esa”, yang dalam pengertian Kasman identik dengan Islam.

Dalam memoirnya Hidup Adalah Perjuangan: 75 Tahun Kasman Singodimejo, ia menceritakan, kedatangannya ke Gedung Pejambon Jakarta dan diminta sebagai anggota tambahan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia adalah atas permintaan Soekarno. Padahal, ketika itu ia sedang bertugas di Jawa barat. Sebagai Panglima Tentara saat itu, ia ditugaskan mengamankan senjata dan mesiu untuk tidak jatuh ke tangan Jepang

Setelah sukses melobi Ki Bagus Hadikusumo dan rapat memutuskan penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta tersebut, malam harinya Kasman gelisah tak bisa tidur. Kepada keluarganya ia tak bicara, diam membisu:

Alangkah terkejut saya waktu mendapat laporan dari Cudhanco Latief Hendraningrat, bahwa balatentara Dai Nippon telah mengepung Daidan, dan kemudian merampas semua senjata dan mesiu yang ada di Daidan.Selesai laporan, maka Latief Hendraningrat hanya dapat menangis seperti anak kecil, dan menyerahkan diri kepada saya untuk dihukum atau diampuni. Nota bene, Latief sebelum itu, bahkan sebelum memberi laporannya telah meminta maaf terlebih dahulu.

Ya apa mau dibuat! Saya pun tak dapat berbuat apa-apa. Saya mencari kesalah pada diri saya sendiri sebelum menunjuk orang lain bersalah. Ini adalah pelajaran Islam. Memang saya ada bersalah, mengapa saya sebagai militer kok ikut-ikutan berpolitik dengan memenuhi panggilan Bung Karno!?
….malamnya tanggal (18 Agustus malam menjelang 19 Agustus 1945) itu sengaja saya membisu. Kepada keluargapun saya tidak banyak bicara, sayapun lelah, letih sekali hari itu, lagi pula kesal di hati. Siapa yang harus saya marahi?”

Kasman mengatakan, ada dua kehilangan besar dalam sejarah bangsa ini ketika itu.  

Pertama, penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang menjadi Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.  

Kedua, hilangnya sejumlah senjata dan lain-lainnya yang sangat vital pada waktu itu.

Kasman menyadari dirinya terlalu praktis dan tidak berpikir jauh dalam memandang Piagam Jakarta. Ia hanya terbuai dengan janji Soekarno yang mengatakan bahwa enam bulan lagi akan ada sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat yang akan dapat memperbaiki kembali semua itu. Padahal dalam waktu enam bulan, mustahil untuk melakukan sidang perubahan di tengah kondisi yang masih bergolak. Meski Kasman telah mengambil langkah keliru, namun niat di hatinya sesungguhnya sangat baik, ingin bangsa ini bersatu.

“Sayalah yang bertanggung jawab dalam masalalah ini, dan semoga Allah mengampuni dosa saya,” kata Kasman sambil menetaskan air mata, seperti diceritakan tokoh Muhammadiyah Lukman Harun, saat Kasman mengulang cerita peristiwa tanggal 18 Agustus itu.

Seolah ingin mengobati rasa bersalah atas penyesalannya pada peristiwa 18 Agustus 1945, pada sidang di Majelis Konstituante 2 Desember 1957, Kasman tak lagi sekadar menjadi “Singodimedjo” tetapi berubah menjadi “Singa di Podium” yang menuntut kembalinya tujuh kata dalam Piagam Jakarta dan menolak Pancasila sebagai dasar negara.

Dalam pidatonya di siang Konstituante, ia mengatakan dengan lantang:

“Saudara ketua, satu-satunya tempat yang tepat untuk menetapkan Undang-undang Dasar yang tetap dan untuk menentukan dasar negara yang tent-tentu itu ialah Dewan Kosntituante ini! Justru itulah yang menjadi way out daripada pertempuran sengit di dalam Panitia Persiapan kemerdekaan Indonesia yang telah pula saya singgung dalam pidati saya dalam pandangan umum babak pertama.

Saudara ketua, saya masih ingat, bagaimana ngototnya almarhum Ki Bagus Hadikusumo Ketua Umum Pusat Pimpinan Muhammadiyah yang pada waktu itu sebagai anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mempertahankan agama Islam untuk dimasukkan dalam muqoddimah dan Undang-undang Dasar 1945. Begitu ngotot saudara ketua, sehingga Bung Karno dan Bung Hatta menyuruh Mr T.M Hassan sebagai putera Aceh menyantuni Ki Bagus Hadikusumo guna menentramkannya. Hanya dengan kepastian dan jaminan bahwa 6 bulan lagi sesudah Agustus 1945 kita akan bentuk sebuah Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Majelis Pembuat Undang-undang Dasar yang tetap, maka bersabarlah Ki Bagus Hadikusumo untuk menanti.

Saudara ketua, kini juru bicara Islam Ki Bagus Hadikusumo itu telah meninggalkan kita untuk selama-lamannya, karena telah berpulang ke rakhmatullah. Beliau telah menanti dengan sabarnya, bukan menanti 6 bulan seperti yang telah dijanjikan kepadanya. Beliau menanti, ya menanti sampai dengan wafatnya…

Gentlement agreement itu sama sekali tidak bisa dipisahkan daripada “janji” yang telah diikrarkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia kepada kami golongan Islam yang berada dalam panitia tersebut. Di dalam hal ini Dewan Konstituante yang terhormat dapat memanggil Mr. T.M Hassan, Bung Karno dan Bung Hatta sebagai saksi mutlak yang masih  hidup guna mempersaksikan kebenaran uraian saya ini….

Saudara ketua, di mana lagi jika tidak di Dewan Konstituante yang terhormat ini, saudara ketua, dimanakah kami golongan Islam menuntut penunaian “janji” tadi itu? Di mana lagi tempatnya? Apakah Prof. Mr Soehardi mau memaksa kita mengadakan revolusi? Saya persilakan saudara Prof Mr. Soehardi menjawab pertanyaan saya ini secara tegas! Silakan!

Saudara ketua, jikalau dulu pada tanggal 18 Agustus 1945 kami golongan Islam telah difait-a complikan dengan suatu janji dan/atau harapan dengan  menantikan waktu 6 bulan, menantikan suatu Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk membuat Undang-undang Dasar yang baru dan yang permanen, saudara ketua, janganlah kami golongan Islam  di Dewan Konstituante  sekarang ini difait-a complikan lagi dengan anggapan-anggapan semacam: Undang-undang Dasar Sementara dan Dasar Negara tidak boleh dirubah, tidak boleh diganti, tidak boleh diganggu gugat! Sebab fait-a compli semacam itu sekali ini, saudara ketua, hanya akan memaksa dada meledak!”

Pidato Kasman di Sidang Konstituante yang sangat berapi-api mengusulkan Islam sebagai dasar negara sungguh sebuah penebusan kesalahan yang sangat luar biasa.Dalam pidato tersebut, Kasman secara detil mengemukakan alasan-alasannya mengapa Islam layak dijadikan dasar negara, dan mempersilakan golongan lain untuk mengemukakan alasan-alasannya terhadap Pancasila.

Bagi Kasman, Islam adalah sumber mata air yang tak pernah kering dan tak akan ada habisnya  untuk digunakan sebagai dasar dari NKRI ini, jika negara ini dilandaskan pada Islam. Sedangkan Pancasila yang dijadikan dasar negara, katanya, tak lebih seperti “air dalam tempayan”, yang diambil diangsur, digali dari “mata air” atau sumber yang universal itu, yaitu Islam.

Kasman menyatakan,
    
 “Ada yang mengira, si penemu—katakan kalau mau, “si penggali,” air dalam tempayan itu adalah sakti mandra guna, dianggapnya hampir-hampir seperti nabi atau lebih daripada itu, dan tidak dapat diganggu gugat. Sedang air dalam tempayan itu, lama kelamaan, secara tidak terasa mungkin, dianggapnya sebagai air yang keramat, ya sebagai supergeloof yang tidak dapat dibahas dengan akal manusia, dan yang tidak boleh didiskusikan lagi di Konstituante sini. Masya Allah!”

Begitulah sekelumit Kisah Allahyarhamuhu Kasman Singodimedjo terkait dihapuskannya Piagam Jakarta. Ia begitu terpukul, merasa bersalah ketika ikut terlibat dalam melobi Ki Bagus Hadikusumo. Namun begitu, ketegasannya dalam pidato di sidang Majelis Konstituante, menunjukkan bahwa kepeduliaan Kasman pada cita-cita tegaknya Islam di negeri ini begitu tinggi. Kasman Singodimedjo wafat di Jakarta pada 25 Oktober 1982. Ia pergi dengan amanah yang telah ditunaikan; menuntut Islam tegak di negeri ini.

Bahan bacaan:
  • Hidup Adalah Perjuangan, 75 Tahun Kasman Singodimejo, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1982).
  • Mohammad Hatta, Memoir, Jakarta: Yayasan Hatta, 2002
  • Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 Sebuah Konsensus Nasional Tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1949), Jakarta: Gema Insani Press, 1997, Edisi Ketiga, cet. Pertama
  • Ridwan Saidi, Status Piagam Jakarta” Tinjauan Hukum dan Sejarah,” Jakarta: 2007 (makalah lepas)
  • Prof. Dr Hazairin, S.H, Demokrasi Pancasila, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1990