Oleh: Ridwan H.d., iwan_elian@yahoo.com>
DI sudut ruang tahanan Kebayoran Baru, Jakarta pada November 1963,
Kasman Singodimedjo tak bisa membiarkan dirinya menganggur. Aktivitas
perjuangan pergerakan yang ia lakukan sejak muda terhenti sementara
karena menjadi seorang tahanan.
Dengan modal sebuah pulpen dan beberapa lembar kertas ia mencoba
menyibukan dengan menulis, “Renungan” menjadi kata pertama yang ia
tuliskan.
Sejak Partai Masyumi di bubarkan Presiden Soekarno pada 17 Agustus
1960, Kasman telah lama merenung. Ia bertafaqur dan memikirkan kembali
apa-apa saja yang telah ia lakukan selama ini.
“Apa yang saya pikirkan itu?” tulis pertanyaan retorik ke dalam
tulisan kalimat selanjutnya. “Yang saya pikirkan ialah: Apakah
perjuangan kaum muslimin yang dulu bergabung di dalam Masyumi yang
jumlahnnya jutaan itu kini telah selesai? Selesai karena Masyumi
dibubarkan? Selesai karena tidak disukai oleh Presiden RI Soekarno, dkk,
?”
Deretan pertanyaan-pertanyaan retorik itu ia tuliskan di awal-awal
catatan renungannya. Ada asa yang ia ingin tunjukkan kepada pembaca
tulisannya kelak, bahwa perjuangan tak boleh terhentik ketika sarana itu
tak ada.
“Tidak!” jawabnya sendiri melanjutkan pertanyaan retoriknya.“Tidak
ada kamus Islam yang menyatakan bahwa si Muslim harus berhenti dari
perjuangannya selama ia masih hidup, karena hidup itu berjuang,
beribadat, dan beramal!” lanjutnya.
Sejak Masyumi dinyatakan bubar oleh pemerintah, Indonesia memasuki
masa krusial bagi para anggotanya. Demokrasi Terpimpin menjadi ruang
gerak Soekarno untuk bebas mengendalikan negara secara represif yang
didukung kekuatan komunis yang berada di belakang Sang Presiden. Selama
ini, komunis-lah yang menjadi musuh utama Masyumi selama periode
Demokrasi Liberal tahun 1950an.
Masa-masa represif itu membuat semua pimpinan Masyumi harus mencicipi
bui atas tuduhan yang beragam. Kasman, yang juga menjadi bagian dari
pimpinan Masyumi ikut mendapatkan sepetak ruang penjara.
Tuduhannya
adalah turut campur dalam perkumpulan yang ingin melawan negara. Seperti
yang dituliskan Kasman dalam catatannya ini, sejak saat itu ia mulai
merenung. Ia selalu merenung terhadap perjuangannya.
“Tapi segera aku ingat bahwa hidup itu bukan merenung semacam itu,
bukan pula menganggur, pun bukan mengobrol yang sia-sia.” Kasman terus
bercerita bagaimana ia bisa mendapatkan alat tulis dari polisi yang
menjaganya. Ia sedang gelisah. Ia ingin menuangkan seluruh gagasan dan
isi hatinya. “Lebih baik aku menulis dari pada merenung tak menentu.”
lanjutnya. Seluruh tulisannya dalam tahanan ini yang kemudian dibukukan
dengan judul Renungan dari Tahanan.
Kalimat-kalimat persuasif menghias di lembar-lembar pertama. Ia ingin
mengajak umat Islam terus berjuang meskipun kendaraan perjuangan itu
telah mati. Masyumi, sebagai kendaraan politik umat Islam, dibubarkannya
bukan menjadi alasan untuk berhenti berjuang. Bagi Kasman, meski alat
perjuangan itu mati, seorang muslim harus mencari alat lain yang dapat
dipergunakan untuk berjuang terus yang sesuai dengan kondisi dan situasi
yang ada. Kalimat lantang inilah keluar dari pikirannya, “Seorang
Muslim harus berjuang terus. Hukumnya wajib. Dia harus berjuang terus
selama hidupnya. Hidup itu adalah perjuangan!”
Perjalanan Berjuang Kasman
Kalimat lantang itu bukan sekedar kata-kata. Ia memang senang berkata
dan berbicara. Tapi, juga diikutinya dengan banyak kerja. Seperti kata
Mohammad Natsir yang ikut menulis tentang Kasman di buku Hidup itu
Perjuangan; Kasman Singodimedjo 75 Tahun, “Ia tidak membiasakan diri
hanya menganjurkan sesuatu kepada orang lain, tetapi didahuluinya
melaksanakan apa yang ia anjurkan itu.”
Dalam catatan biografinya di buku tersebut, ia sudah “Hidup Berjuang”
dengan menjadi anggota Jong Islamiten Bond (JIB – Perkumpulan Pemuda
Islam) sejak remaja. Jabatan Ketua JIB disandangnya tahun 1930 – 1935.
JIB didirikan tahun 1925 dengan salah satu tujuannya sebagai tempat bagi
para pelajar dan mahasiswa didikan pemerintah kolonial saat itu untuk
bisa mempelajari Islam.
Dalam pidatonya setelah diangkat menjadi Ketua ia berharap kepada
generasi muda intelektual agar tidak melepaskan identitas dirinya
sebagai pribumi. Ia mengkritik generasi muda terdidik saat itu yang suka
bergaya kebarat-baratan. Generasi ini bagi Kasman, karena telah
terdidik barat, menjadi asing dengan kalangan bawah; yaitu rakyat
jelata. Ia ingin generasi muda intelektual “Kembali Kepada Rakyat” dan
tidak meninggalkan identitas mereka sebagai sebuah bangsa yang hidup di
Nusantara. Terutama identitas Islam yang telah lama dianut. “Kita
pemuda-pemuda Islam yang tergolong dalam golongan intelektual Islam
haruslah tidak lagi menjadi orang asing terhadap Islam. Bahkan
keterasingan itu harus berganti menjadi kesadaran bahwa kita justru bisa
menjadi pemimpin dan penganjur Islam bagi rakyat.” ucap Kasman dalam
penggalan pidatonya.
Yang paling giat dilakukan Kasman sejak muda adalah kepanduan. Sosok
tangkas dengan fisik prima yang dimilikinya mendukung apa yang menjadi
kesenangannya. Pernah aktif di beberapa kegiatan kepanduan milik
pemerintah Hindia. Keahliannya yang didapat di kepanduan tersebut ia
manfaatkan untuk membangun organisasi kepanduan di bawah JIB. Tahun 1926
ia bersama sahabatnya Mohamad Roem mendirikan Nationaal Indonesische
Padvinderij (Natipji).
KEAHLIANNYA dalam mengajar kepanduan membuat Syeikh Ahmad Syurkati
meminta Kasman mengajar kepanduan di sekolah Al Irsyad dengan membuka
cabang Natipji. Ia mengajar satu minggu tiga kali saat petang. Secara
bersamaan Kasman juga mendapat ajaran agama langsung dari sang Syeikh.
Syeikh Ahmad Syurkati sendiri sangat kagum kepada Kasman karena
kepribadiannya yang cerdas, berjiwa besar dan berani.
Sifat-sifat yang sulit ditemukan di kalangan pemuda saat itu. Kedekatan
Kasman dengan sang syeikh tidak sekedar guru dan murid tapi sudah
seperti orang tua dan anak. Setiap Sang Syeikh dikunjungi Kasman, sering
terlontar sambutan yang akrab, “Ahlan wa syahlan fil assad!” yang
berarti “Selamat datang wahai singa!”
Selesai memimpin JIB tahun 1935, kesibukan “berjuang” ia lanjutkan di
kepengurusan Muhammadiyah cabang Jakarta. Ia juga aktif mengajar di AMS,
Mu’allimien, Mu’allimat, MULO, dan HIK yang semua sekolah tersebut
bernaung di bawah Muhammadiyah. Ia diangkat pula menjadi ketua
Muhammadiyah cabang Jakarta.
Masuk masa pendudukan Jepang, Kasman terdaftar sebagai anggota Pembela
Tanah Air (PETA) dengan jabatan Daidancho (komandan setingkat batalyon).
Daidancho sebenarnya banyak di isi dari kalangan ulama atau para kiyai
dan ustad. Tetapi, ketika melihat latar belakang Kasman, pihak Jepang
melihatnya sebagai sosok yang memenuhi syarat. Sebenarnya Kasman ragu
untuk bergabung. Ia mencari akal agar tidak diterima, “Selama beberap
hari saya sengaja mengurangi tidur, sehingga badan saya tampak lesu,
muka pucat dan mata menjadi kemerah-kemerahan. Saya juga berusaha agar
air kencing saya menjadi kuning.” kenangnya. Hasil pemeriksaan kesehatan
justru Kasman dinyatakan lulus.
Sepulang tes, ia menjalankan sholat istikarah untuk meminta petunjuk apa
yang sebaiknnya dilakukan. “Sesudah sholat istikharah itu saya seperti
diberi petunjuk oleh Allah, bahwa ada hikmahnya saya masuk PETA itu.
Saya melihat dari segi kerangka perjuangan saya bangsa Indonesia untuk
mencapai kemerdekaan, jabatan dan kedudukan saya dalam PETA akan saya
manfaatkan sebaik-baiknya,” katanya.
Diantara para Daindancho-daindancho yang lain, Kasman bisa dikatakan
sosok yang sempurna. Ia bukan hanya sosok agamawan dan tokoh ormas
Islam, tetapi juga memiliki gelar pendidikan yang cukup tinggi, yaitu
Meester of Ritchen (Mr.) atau Sarjana Hukum, sekaligus politikus, serta
terlatih dalam hal kepanduan. Dialah yang paling dihormati oleh para
perwira-perwira PETA yang lain dan dianggap sebagai pimpinan para
Daidancho. Jenderal (purn) Abdul Haris Nasution menyebutkan dalam
bukunya Sekitar Perang Kemerdekaan bahwa, “hanya dengan pemimpin
Soekarno-Hatta-Kasman rakyat dapat digerakan secara massal.” Dalam
sejarah masa-masa proklamasi, Kasman cukup memberikan pengaruh dalam
keamaan ibu kota Jakarta dan menggerakan para pemudanya.
Ketika Badan Keamanan Rakyat (BKR) dibentuk setelah proklamasi, Kasman
menjadi pemimpin tertinginya. BKR adalah gabungan pasukan milisi
bersenjata yang terdiri dari pasukan Hizbullah, mantan anggota PETA dan
mantan KNIL. Awalnya, badan ini dipimpin oleh Otto Iskandar Dinata,
tetapi beberapa hari setelah proklamasi keberadaannya hilang (menurut
catatan lain tewas), Kasman yang otomatis naik. Di saat memimpin BKR
ini, tugas terberat Kasman adalah menghimpun senjata-senjata yang
direbut dari Jepang dan menyusun organisasi militer di seluruh wilayah
Indonesia. Semuanya ia kerjakan dari nol. BKR merupakan cikal bakal
terbentuknya TKR, lalu menjadi TRI, hingga akirnya TNI.
Keterlibatannya di militer hanya sebentar. Berdirinya Komite Nasional
Indonesia Pusat (KNIP) pada 29 Agustus 1945 memilih Kasman menjadi
ketuanya. Komite ini yang menjadi cikal bakal lahirnya DPR/MPR. Kasman
merintis lembaga pembantu kebijakan Presiden ini dari berdirinya hingga
membentuk cabang ke seluruh daerah.
Hanya beberapa bulan memimpin KNIP, kegaduhan politik membuatnya mundur
dari Ketua. Tak lama kemudian, Presiden Soekarno mengangkatnya sebagai
Jaksa Agung pada 6 November 1945. Lagi-lagi Kasman harus merintis
lembaga negara yang baru berdiri. Pekerjaannya kali ini lebih banyak
soal penyusunan administrtif. Pendidikannya di bidang hukum sangat
mendukung dengan tugas ini. Selanjutnya, ia mendapat jabatan sebagai
Mentri Muda Kehakiman dan Mahkamah tinggi pada kementrian pertahanan.
Jabatan mentri ini adalah jabatan terakhirnya sebagai pejabat di
pemerintahan.
Ketika Masyumi didirikan pada 7 November 1945, Kasman langsung mendapat
kedudukan sebagai anggota Majelis Syuro dengan jabatan Ketua Muda II. Ia
mulai aktif sepenuhnya mengurusi Masyumi setelah tidak lagi menjadi
pejabat pemerintah. Terutama setelah peristiwa Konfrensi Meja Bundar
(KMB), atau mulai terbentuk kembali keadulatan Republik Indonesia tahun
1950.
Tak hanya Masyumi, Kasman juga masih aktif sebagai kader Muhammadiyah.
“Kegiatannya sebenarnya bersifat ganda. Dia kerjakan tugas-tugas
pergerakan Muhammadiyah. Di samping itu dia juga laksanakan perjuangan
politik dari Partai Masyumi.” kata tim penulis buku Hidup itu Berjuang
Kasman Singodimedjo 75 tahun.
Setelah pemilu tahun 1955 kasman terpilih mejadi anggota Majelis
Konstituante, yaitu majelis yang membahas undang-undang dasar baru bagi
Republik. Di Majelis inilah Kasman bersama kawan-kawan seperjuangan di
Masyumi memperjuangan dasar negara Republik Indonesia berasaskan Islam.
Yang menarik selama masa-masa kampanye menjelang pemilu tahun 1955,
Kasman pernah mendatangi Maluku. Banyak yang menganggap bahwa wilayah
Maluku dihuni oleh masyarakat beragama Nasrani. Di sana ia mendapat
kasus gara-gara berpidato yang isinya mengkritisi akidah Nasrani. Para
pejabat pemerintah Maluku yang sebagian besar Nasrani geram lalu
mengkasuskan Kasman. Tetapi itu tak membuatnya di penjara dan tak juga
membuat karir politiknya hanyut. Justru ketika pemilu 1955 usai, Masyumi
menjadi pemenang di Maluku. “Maka kemenangan Masyumi dalam pemilu 1955
itu, yang didukung oleh mayoritas umat Islam Maluku, merubah anggapan
sejarah yang keliru selama ini,” kata M. Amin Ely teman seperjuangan
yang ikut menulis tentang Kasman.
Perjuangan menegakan Islam sebagai dasar negara melalui konstitusi pun
kandas setelah Presiden mengeluarkan Penetapan Presiden No. 7/1959
tentang pembubaran partai-partai terlarang. Termasuk Masyumi di
dalamnya. Semua itu terjadi akibat berbagai kegaduhan politik dan sikap
Presiden yang semakin otoriter. Diputuskannya Dekrit Presiden 5 Juli
1959 dan Indonesia memasuki masa Demokrasi Terpimpin membuat pemerintah
semakin represif. Keterlibatan beberapa petinggi Masyumi dalam
perjuangan PRRI/Permesta menambah sikap represif presiden kepada
orang-orang Masyumi. Meski tak terlibat PRRI/Permesta, Kasman mendapat
tuduhan terlibat perkumpulan yang berencana ingin menjatuhkan Presiden.
Ia ditahan sejak 9 November 1963. Ia bebas setalah Presiden Soekarno
jatuh tahun 1966. Tuduhannya juga tak pernah terbukti.
Cita-cita dalam Renungan
SEJAK ditahan, segala aktivitas perjuangannya terhenti. Seperti yang
dituliskannya dibukunya, ia memanfaatkan waktu untuk merenung. “Aku
merenung karena tidak biasa menganggur, biasaku sehari-hari kerja keras,
terus menerus kerja keras.” tulisnya. Maka, menulis menjadi ruang
ekspresi Kasman untuk menyalurkan apa-apa yang dipikirkannya.
Pada bab-bab selanjutnya di Renungan dari Tahanan, Kasman banyak
berbicara tentang kepribadian seorang Muslim, revolusi, demokrasi,
kepemimpinan Islam, negara, dan alasan-alasan yang menjadikan Indonesia
bisa berdasarkan Islam, serta banyak mengulas mengenai Pancasila.
“Pancasila,” tulis Kasman memulai bab III,
”berisikan lima sila yang
kesemuanya itu terdapat juga pelajaran di dalam Islam.” Kasman
menjelaskan jika Pancasila tidak bertentangan dengan Islam. Tetapi,
Pancasila juga tidak lebih baik dari Islam. Ia mengajak umat Islam agar
menerima Pancasila, dengan anggapan bahwa pancasila tidak lebih tinggi
dari Islam. Islam datangnya dari Allah, sedangkan Pancasila hanya buatan
manusia. Jangan sampai umat Islam lebih meninggikan pancasila dari
Islam. “Bahwa Islam mempunyai kelebihan dari Pancasila, maka hal itu
adalah baik, pun baik sekali untuk / bagi Pancasila itu sendiri dan
pasti tidak dilarang oleh Pancasila, bahkan menguntungkan Pancasila,
karena Pancasila akan dapat diperkuat dan diperkaya oleh Islam.”
lanjutnya.
Dipilihnya pancasila dari pada Islam sebagai dasar negara juga diakui
Kasman sebagai ujian dari Allah. Ia merenungi Surat Ar-Ra’d ayat 11
untuk menemukan hikmah dibalik ujian ini. Ia melihat, sebagian Umat
Islam lebih banyak menggerutu dalam persoalan dasar negara. Dalam
catatan renungannya itu kalimat persuasif ia keluarkan lagi untuk
mengajak umat Islam terus berjuang meraih cita-citanya, “Umat Islam
harus berjuang, berjuang untuk merubah nasibnya sendiri!” kata Kasman.
Meski pancasila tidak bertentangan, tapi bagi Kasman umat Islam memiliki
kewajiban memperjuangankan yang lebih sempurna sebagai amalannya.
“Untuk mencapai yang lebih sempurna dari Pancasila, hal itu adalah
perjuangan selanjutnya, pun juga tidak dilarang oleh pancasila itu
sendiri. Dan perjuangan Islam bagi umat Islam tidak hanya merupakan hak,
tetapi lebih dari pada itu, yakni merupakan kewajiban untuk
dilaksanakan/diamalkan. Islam adalah agama amalan.” lanjut tulisnya.
Kasman mempunyai pengalaman pahit ketika pernah terlibat dalam urusan
dasar negara. Masih sebagai Daidancho PETA pada 18 Agustus 1945, Kasman
diminta hadir oleh Soekarno pada rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI). Ia diminta menjadi anggota tambahan untuk pembahasan
soal penetapan dasar negara, penetapan presiden, dan lainnya. Ketika
memasuki penetapan dasar negara, ada yang mengusulkan untuk merubah
tujuh kata dari lima sila yang telah ditetapkan pada keputusan Piagam
Jakarta menjadi “Ketuhanan yang Maha Esa”. Usulan perubahan ini atas
dasar permintaan kaum minoritas dari wilayah timur. Jika tidak
ditanggapi mereka ingin memisakhan diri.
Perdebatan terjadi. Pihak muslim menolak usulan ini, terutama Ki Bagus
Hadikusuma yang saat itu adalah Ketua PP Muhammadiyah. Saat itu situasi
benar-benar sedang darurat. Undang-undang harus segera disahkan sebelum
tentara sekutu tiba di Indonesia yang baru berumur sehari. Atas desakan
itu, Kasman mencoba mengerti situasi yang terjadi. Tapi Ki Bagus
Hadikusuma tetap ngotot ingin mempertahankan kalimat “Ketuhanan dengan
Berkewajiban Menjalankan Syariat Islam Bagi Pemeluknya”.
Soekarno meminta Kasman melobi Ki Bagus agar memahami kondisi darurat
yang sedang terjadi. Kasman juga dijanjikan oleh Soekarno akan membahas
lagi soal dasar negara ini di MPR/DPR yang akan dibentuk 6 bulan
kemudian. Ki Bagus akhirnya luluh menerima saran Kasman. Tapi
kenyataannya, waktu 6 bulan cukup sulit bagi Indonesia untuk membahas
persoalan ini kembali, mengingat harus berhadapan dengan Belanda yang
ingin berkuasa kembali.
Kasman tak begitu menyesali hilangnya tujuh kata dalam dasar negara.
Sesuai dengan pandangannya, Pancasila tidak bertentangan dengan Islam.
Makna, “Ketuhanan yang Maha Esa” lebih dekat dengan makna tauhid dalam
Islam. Dalam kondisi negara saat itu, ia dan kawan-kawan di Masyumi tak
mempersoalkan. Kesempatan untuk ‘mempersoalkan’ kembali mendapat
waktunya setelah pemilu 1955 dengan terbentuknya Majelis Konstituante.
Majelis ini bertujuan membahas kembali dasar negara. Kasman menjadi
salah satu orang-orang Masyumi yang vokal ingin menerapkan Republik
Indonesia berdasarkan Islam.
Dalam pidato Kasman di Majelis Kontituante pada 13 November 1957, ia
menjelaskan panjang lebar alasan-alasan mendukung Islam sebagai dasar
negara. Alasan-alasan tersebut dibagi dua, yaitu alasan universal dan
alasan dialektis.
Alasan universal dimaksudkan sebagai pengakuan
terhadap kedaulatan hukum Tuhan yang dimanifestasikan dalam ajaran
agama.
Sedangkan alasan dielaktis adalah pengakuan bahwa agama Islam di
Indonesia secara kuantitatif dan kualitatif adalah agama yang
berpengaruh di setiap segi kehidupan. “Oleh sebab itu penggabungan
antara alasan-alasan universal dan alasan-alasan dialektis Indonesia
membawalah kita kepada kesimpulan bahwa dasar dari Republik Indonesia
seharusnya Islam.” ucap Kasman.
Tapi, cita-cita itu harus terhenti sejenak. Perjuangannya kini cukup
dengan menulis sebuah renungannya di dalam tahanan. Berharap, ada
generasi yang akan membaca dan melanjutkan perjuangan. Satu pesan yang
ia tuliskan,
“Oleh sebab itu Muslimin yang masih hidup sekarang ini
harus/wajib meneruskan perjuangan Islam itu, dengan bertitik tolak
kepada keadan (situasi) dan fakta-fakta yang kini ada, dengan
gaya/semangat baru, setidak-tidaknya “to make the best of it” menuju
kepada Baldatun tayibatun wa Rabbun Gafur, yakni suatu negara yang baik
yang diampuni dan diridhai oleh Allah : adil, makmur, aman, sentosa,
tertib teratur, bahagia, damai. Dan apabila kitapun belum juga mencapai
tujuan tersebut, maka setiap muslim generasi muda yang mendatang wajib
hukumnya meneruskan perjuangan kita itu.”